Di Balik Israel Serang Gaza, Ada Niat Zionis Kuasai Gas dan Minyak Palestina
Israel tak ingin hentikan serangan ke Jalur Gaza dengan dalih hancurkan Hamas.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Israel tak henti-hentinya menggempur Jalur Gaza. Lebih dari 37 ribu warga Palestina terbunuh dalam serangan Zionis. Dorongan gencatan senjata yang disodorkan negara-negara dunia diabaikan oleh Israel.
Pun demikian dengan permintaan Dewan Keamanan PBB yang menuntut gencatan senjata, tetap diabaikan oleh otoritas Zionis. Lantas mengapa Israel tak mau kunjung berhenti?
Perdana Menteri Netanyahu menegaskan, Israel akan terus melancarkan operasi memburu Hamas. Mereka tidak akan berhenti untuk menggempur Gaza sampai Hamas benar-benar kalah.
Namun beredar spekulasi ada hal lain di balik serangan Israel ke Hamas. Dugaan tersebut terkait dengan motif ekonomi mengingat Palestina memiliki sumber daya alam berlimpah.
Seperti dilansir researchcentre.trtworld.com, sejak awal, Perdana Menteri Israel Netanyahu telah menjalankan strategi pembersihan etnis dengan memaksa warga Gaza pindah ke selatan dan mencari nafkah di Rafah atau gurun pasir di Semenanjung Sinai.
Kondisi itu merupakan cerita yang paling nyata. Namun sspek lain yang kurang dipublikasikan adalah penegakan hak warga Palestina untuk mengawasi cadangan minyak dan gas alam mereka.
Hak ini sangat penting bagi keberlangsungan negara Palestina di masa depan, dan langkah Israel merampas sumber daya sah rakyat Palestina telah menghentikan cita-cita negara mereka.
Dengan cara sama, hegemoni Israel atas cadangan minyak dan gas di wilayahnya mencerminkan ambisi jangka panjang untuk menjadi pusat energi dan penghubung konektivitas regional.
"Oleh karena itu, seperti halnya upaya pemukim kolonial lainnya, pemindahan dan pembunuhan massal hanyalah harga yang harus dibayar untuk melanjutkan eksploitasi sumber daya yang kejam dari penduduk asli," tulis Burak Elmali peneliti di TRT World Research Centre di Istanbul dikutip dari laman TRT.
Permasalahan sumber daya gas alam Palestina mengemuka pada tahun 1999 ketika British Gas Group (BG) memulai eksplorasi di wilayah ladang gas luas yang terletak 17 hingga 21 mil laut di lepas pantai Gaza.
Dikenal sebagai Gaza Marine, ladang ini berada dalam batas kendali 20 mil yang diberikan kepada Otoritas Palestina (PA) berdasarkan Perjanjian Oslo II tahun 1995.
Pemimpin PA Yasser Arafat, tulis Elmali, menandatangani kontrak izin eksplorasi selama 25 tahun dengan konsorsium yang terdiri dari Consolidated Contractors Limited (CCC), British Gas Group (BG), dan Palestine Investment Fund (PIF). Setahun kemudian, pada tahun 2000, BG menemukan dua ladang dengan cadangan total 1,4 triliun kaki kubik di Laut Gaza.
Pada 2001, terpilihnya Ariel Sharon sebagai Perdana Menteri menandakan sikap yang lebih keras terhadap Palestina sehingga menyebabkan periode yang penuh gejolak.
Namun, menurut Elmali, keputusan Mahkamah Agung Israel secara dramatis menantang kedaulatan Palestina mengenai kendali dan hak keuntungan atas ladang-ladang ini. Alhasil perjanjian-perjanjian yang diusulkan pada umumnya dihentikan.
Hamas jadi alibi
Pada awal Intifada Kedua, lanjut Elmali, pendekatan Israel mengikuti kebijakan opresif sistematis yang menolak distribusi cadangan gas alam yang adil di wilayah tersebut.
Situasi politik ini, memupuskan harapan akan tercapainya kesepakatan saling menguntungkan antara kedua pihak, terutama karena sikap radikal pemerintahan Sharon.
Selanjutnya, pihak berwenang Israel menentang pendanaan rutin apa pun kepada PA. Israel menggunakan alasan risiko pendanaan Hamas di Gaza sebagai dalih.
Menurut laporan, strategi menyeluruh Israel sejak saat itu hingga sekarang berkisar pada memonopoli kendali atas cadangan gas alam di Laut Gaza dan cadangan minyak di sepanjang perbatasan Tepi Barat-Israel. Ini sekaligus merampas bagian pendapatan Palestina dari sumber daya tersebut.
Pendekatan itu telah menimbulkan kemunduran finansial yang besar terhadap perekonomian Palestina dan menghalangi jalan mereka menjadi sebuah negara berdaulat.
Untuk mencapai tujuan ini, Israel mengambil sikap bermusuhan dalam negosiasi. Mereka sering kali menyebut Hamas sebagai alasan ketidakpercayaan dan ketidakamanan.
Selain itu, proposal perjanjian telah dirancang untuk mengabaikan Otoritas Palestina (PA) yang secara efektif menghalangi peluang distribusi sumber daya dan pendapatan secara adil.
Baru-baru ini, Israel memanfaatkan peristiwa 7 Oktober 2023 sebagai peluang untuk mencapai tujuan strategisnya.
Menguasai minyak
Pada tahap awal serangan gencar di Gaza, tulis Emali, muncul diskusi mengenai skenario alternatif, termasuk proposal dari Kementerian Intelijen Israel yang menyarankan perpindahan penduduk Gaza ke Semenanjung Sinai.
Netanyahu secara aktif terlibat dalam melobi Uni Eropa untuk memberikan tekanan pada Mesir agar menyetujui gelombang besar warga Gaza ke gurun pasir.
Selanjutnya, tiga minggu setelah perang, Israel memberikan izin eksplorasi baru kepada enam perusahaan, termasuk BP dan ENI, untuk mengeksplorasi cadangan gas alam di Zona G, wilayah yang berbatasan dengan garis pantai Gaza.
Khususnya, 62% dari wilayah tersebut berada dalam batas maritim yang dideklarasikan oleh Palestina pada tahun 2019 berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982, di mana Palestina menjadi salah satu penandatangannya.
Dalam laporan UNCTAD tahun 2019, tingginya biaya finansial akibat hilangnya dukungan finansial yang diperlukan warga Palestina untuk pembangunan dan pembangunan negara akibat pendudukan Israel ikut disorot.
Laporan tersebut menyatakan, Cadangan Marine 1 dan Marine 2 ditemukan pada tahun 1999, dan BGG mulai melakukan pengeboran gas pada tahun 2000.
Orang-orang Palestina secara hipotetis dapat memonetisasi ladang-ladang ini dan menginvestasikan nilai bersih sebesar 4,592 miliar dolar AS selama 18 tahun hingga saat ini.
Dengan asumsi tingkat pengembalian riil tahunan yang rendah yaitu sebesar 2,5 persen, warga Palestina telah kehilangan potensi pemasukian sekitar 2,570 miliar dolar AS karena pencegahan pelaksanaan hak mereka untuk mendapatkan keuntungan dari eksploitasi sumber daya alam, yang dijamin berdasarkan hukum internasional.
Di sisi lalin, Israel terus menjadikan tujuan utama memperluas cakupan pendudukannya untuk melanjutkan pembersihan etnis di Palestina. Meskipun ada peringatan dari sekutu utamanya seperti AS, Israel terus menargetkan Rafah.
Jika tujuan pembersihan etnis berhasil, Israel dapat mencapai tujuan lamanya untuk memperoleh kendali penuh atas Gaza, sekaligus menguasai sumber daya minyak dan gas yang berharga.
Ambisi ini sejalan dengan keinginan Israel untuk menjadi pusat jalur Koridor India-Timur Tengah-Eropa (IMEC) dan pemasok energi alternatif ke pasar Eropa yang bertujuan untuk melepaskan diri dari gas Rusia sejak pecahnya perang di Ukraina.
Oportunisme ini akan semakin nyata seiring dengan terungkapnya tindakan Israel di Rafah, dan semakin berkembangnya hubungan Israel dengan perusahaan-perusahaan energi internasional.
Terbukti bahwa, saat ini, Israel melanjutkan strategi gandanya, yaitu mempersenjatai dan memberi insentif kepada pemukim ilegal di Tepi Barat sambil secara agresif melakukan pendudukan militer di Gaza dengan memperhatikan sumber daya alamnya.