Parlemen Israel: Palestina Berhasil Anjlokkan Kekuatan Militer Israel, Trump tak Realistis

Israel berambisi menganeksasi semua kawasan Palestina.

IDF
Tentara Israel mengevakuasi prajurit yang terluka.
Rep: Fuji Eka Permana Red: Erdy Nasrul

REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH -- Rencana Trump dan Netanyahu mencaplok Gaza dan mengusir semua warga pesisir itu menuai kritik tajam berbagai pihak. Mereka menolak amnbisi Trump dan Netanyahu yang dinilai memutus historisitas kawasan tersebut, melegalkan genosida, sekaligus mencabut hak kemerdekaan Palestina.

Baca Juga


Kepala Daftar Gabungan di Knesset Israel, Ayman Odeh, menekankan bahwa "tidak ada cara untuk menghadapi rencana Israel kecuali melalui persatuan Palestina," seraya mencatat bahwa rakyat Palestina "telah menghancurkan sumber kekuatan bagi Israel, yaitu militer."

Dalam wawancara dengan al-Mayadeen pada hari Kamis, Awda menekankan "perlunya membentuk koalisi global terluas untuk menghadapi dan mengisolasi pemerintahan Presiden AS Donald Trump."

Awda menegaskan penolakannya terhadap pengusiran penduduk Jalur Gaza, seraya menegaskan bahwa "ide Trump tidak akan diabaikan oleh penduduk Gaza yang telah bertahan selama 15 bulan" dalam menghadapi perang pemusnahan yang dilancarkan oleh pendudukan Israel dengan dukungan Amerika.

Awda menyinggung posisi Kairo terkait isu ini, dengan menjelaskan bahwa Mesir "tidak akan menerima pemindahan warga Palestina dari Jalur Gaza, karena beberapa alasan, yang terpenting di antaranya adalah isu keamanan nasional Mesir."

 

Kepala Daftar Gabungan di Knesset menekankan bahwa pendudukan Israel sedang mengejar warga Palestina di wilayah yang diduduki pada tahun 1948, "terutama mereka yang mendukung Gaza."

Awda menambahkan, selama wawancaranya dengan Al-Mayadeen , bahwa kepala pemerintahan pendudukan, Benjamin Netanyahu, "mengklasifikasikan kami sebagai musuh ketika ia berbicara tentang front internal, bersama dengan front Gaza, Tepi Barat, dan Lebanon selatan."

Dengan menunjukkan bahwa "serangan yang dialaminya oleh anggota Knesset disebabkan oleh kegagalan Israel di Gaza," ia menekankan "Keteguhan posisi kami, secara moral dan manusiawi."

Dua tentara Israel ditembak mati

Dua tentara Israel tewas dan delapan lainnya terluka pada Selasa (4/2/2025) pagi dalam serangan penembakan di sebuah pos pemeriksaan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) di dekat Tayasir di Tepi Barat bagian utara, demikian konfirmasi pihak militer, dikutip dari laman Daily Post, Rabu (5/2/2025).

Pria bersenjata pejuang kemerdekaan Palestina yang bersenjatakan senapan M-16 itu wafat dan syahid setelah baku tembak dengan tentara Israel selama beberapa menit.

Serangan itu terjadi sebelum pukul 6 pagi, ketika pria bersenjata itu menyusup ke pos pemeriksaan tanpa terdeteksi dan menyergap tentara Israel ketika mereka bersiap untuk membuka pos tersebut untuk lalu lintas orang Palestina.

 

 


Sersan Mayor (res.) Ofer Yung (39 tahun) dari Tel Aviv, dan Sersan Mayor (res.) Avraham Tzvi Tzvika Friedman (43) dari Ein HaNatziv, tertembak secara fatal dalam baku tembak. Keduanya adalah anggota Batalyon Cadangan 8211 dari Brigade Regional Efraim.

Penyerang berhasil memasuki pos tentara dan melibatkan tentara dalam baku tembak yang sengit sebelum dinetralisir oleh unit cadangan. Delapan tentara Israel lainnya terluka, termasuk dua orang dalam kondisi serius. Tentara yang terluka dievakuasi ke rumah sakit Israel untuk mendapatkan perawatan.

Mengunjungi lokasi serangan, Kepala Staf IDF Letnan Jenderal Herzi Halevi bersumpah untuk melakukan serangan militer yang lebih intensif di daerah tersebut.

“Ini adalah serangan yang sulit di mana kami kehilangan dua tentara cadangan,” kata Halevi.

“Kami akan menyelidiki, menerapkan pelajaran, dan memperluas operasi kontra-terorisme kami ke daerah-daerah lain,” kata Kepala Staf IDF.

 

 

Tak lama setelah serangan tersebut, media Palestina melaporkan serangan pesawat tak berawak Israel di kota Tamun, meskipun militer Israel tidak segera mengomentari laporan tersebut.

Serangan tersebut terjadi di tengah operasi besar-besaran Israel menjajah Palestina di Tepi Barat bagian utara, di mana lebih dari 35 orang Palestina telah dibunuh militer Israel dan 100 orang yang dicurigai sebagai pejuang kemerdekaan Palestina ditangkap dalam beberapa pekan terakhir.

Operasi Tembok Besi IDF, yang diluncurkan pada 21 Januari 2025, bertujuan untuk membongkar jaringan teror yang beroperasi di Jenin, Tulkarem, dan Tamun.

Sejak serangan pejuang kemerdekaan Palestina yakni Hamas pada 7 Oktober 2023 terhadap Israel, Tepi Barat telah mengalami peningkatan tajam dalam kekerasan.

Lebih dari 900 warga Palestina telah dibunuh Israel, sebagian besar dari mereka diidentifikasi oleh IDF sebagai pria bersenjata atau perusuh. Sementara itu, 48 warga Israel dan personel keamanan telah tewas dalam serangan Palestina di Israel dan Tepi Barat. 

Imperialisme modern

Aqsa Working Group (AWG) menyampaikan bahwa Presiden Amerika Serikat (AS) terpilih Donald Trump menerima Benjamin Netanyahu sebagai tamu kenegaraan pertama. Penerimaan dan penyambutan atas kunjungan penjahat genosida itu membuktikan bahwa rezim Trump sejatinya sama saja dengan rezim-rezim sebelumnya di Amerika, mereka hanyalah boneka bagi lobi Zionis.

 


Presidium AWG, Ustaz Anshorullah mengatakan, dalam konferensi pressnya, Trump menyatakan akan mengambil alih Gaza lalu memindahkan penduduknya ke negara-negara lain. Amerika dan Zionis Israel telah menjelma menjadi Duo Imperialis era modern yang harus dilawan.

"Sehubungan dengan itu, Aqsa Working Group mengutuk dan menentang sekerasnya pernyataan Donald Trump yang akan mengambil alih kontrol atas Gaza dan memindahkan warganya ke negara-negara tetangga Palestina," kata Ustaz Anshorullah kepada Republika, Kamis (6/2/2025)

Ia mengatakan, tindakan sepihak Amerika dan Israel itu adalah pengkhianatan terhadap perjanjian gencatan senjata dan hanya akan meningkatkan turbulensi politik di Timur Tengah dan dunia.

AWG mengatakan bahwa merelokasi warga Gaza, tidak lain merupakan pengulangan kejahatan pengusiran warga Palestina tahun 1947-1948 atau dengan kata lain pembersihan etnis (ethnic cleansing) yang tahun itu dilakukan oleh milisi teror Zionis dengan bantuan Amerika.

"Aqsa Working Group menuntut Amerika untuk berhenti ikut campur, membiayai bahkan mempersenjatai kejahatan Zionis Israel di Palestina," ujar Ustaz Anshorullah.

 

Ia menegaskan, campur tangan Amerika di Gaza dan Palestina secara umum melalu Abraham Accord hanya akan membawa penderitaan bagi rakyat Palestina dan menjauhkan perdamaian dari kawasan itu. Sejarah mencatat, campur tangan Amerika di berbagai negara tidak pernah membawa kebaikan. Sebaliknya membawa bencana yang sangat sulit dan lama dipulihkan.

AWG mengungkapkan, keputusan Trump keluar dari keanggotaan di Dewan HAM PBB, UNESCO, dan UNRWA menunjukan bahwa Amerika sudah tidak sejalan dengan komitmen perdaimaian anggota-anggota PBB lainnya. Bahasa perdamaian mereka tidak lain hanyalah upaya hegemoni bahkan imperialisme terhadap Timur Tengah dan dunia. Amerika dan Zionis Israel tidak sejalan dengan ICJ, ICC, Amnesty Internasional, bahkan PBB.

"Aqsa Working Group menyerukan agar negara-negara anggota PBB segera mereformasi anggota Tetap Dewan Keamanan PBB, mencabut hak veto, karena hak veto itu tidak mencerminkan keadilan sebagai fondasi perdamaian. Selain itu, diserukan juga agar entitas Zionis Israel dikeluarkan dari keanggotaan PBB," ujar Ustaz Anshorullah.

Aqsa Working Group mengapresiasi pemerintah Indonesia, Arab Saudi, Prancis, Spanyol, Tiongkok, dan negara lainnya yang dengan cepat merespon menolak rencana Trump itu. Penolakan itu adalah wujud dari komitmen global terhadap perdamaian dunia.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler