Gencatan Senjata Dilanggar, Hamas: Sandera Kami Jaga, tapi Israel Siksa Warga Kami

Israel harus bertanggung jawab terhadap puluhan ribu warga tewas di Gaza Palestina.

AP Photo/Mohammed Hajjar
Pejuang Palestina ke lokasi penyerahan sandera Agam Beger di kamp pengungsi Jabalya di Kota Gaza, Kamis 30 Januari 2025.
Red: Erdy Nasrul

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Meski gencatan senjata terlaksana, Israel yang dipimpin Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menunjukkan inkonsistensi menaati hal tersebut. Ada saja pasukannya yang melukai, bahkan membunuh warga Gaza. Belum lagi perilaku prajurit mereka yang biadab terhadap tahanan warga Palestina.

Baca Juga


Hal tersebut sungguh menodai perjanjian gencatan senjata yang sudah dibangun. Komitmen untuk menuju tahap dua gencatan senjata juga belum terjadi. Hamas berkomitmen untuk melanjutkan gencatan senjata, namun Israel belum menunjukkan keseriusannya untuk menuju ke sana.

Israel sangat berambisi melucuti bahkan mendongkel Hamas dari Gaza. Namun hal itu tidak mungkin terjadi, karena saat ini hanya Hamas yang memiliki pengaruh besar untuk membangun Gaza. Kelompok perlawanan tersebut memegang kendali mulai tukang sapu hingga pemimpin pemerintahan.

Juru bicara Brigade al Quds, Abu Hamza, menegaskan bahwa nasib para tahanan Israel yang ditahan oleh kelompok perlawanan di Jalur Gaza "terkait dengan perilaku Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, baik secara negatif maupun positif," dan menuntut pertanggungjawaban pemerintah Israel atas konsekuensi dari penghindaran terhadap apa yang ditetapkan dalam perjanjian gencatan senjata dan pelanggaran yang terus dilakukannya.

Pada hari Rabu, Abu Hamza menekankan "aturan tetap, yaitu bahwa perlawanan berkomitmen pada perjanjian gencatan senjata dalam semua aspeknya, jika musuh berkomitmen padanya."

 


Ia menambahkan bahwa fakta dan kejadian sejak awal "Banjir Al-Aqsa" hingga saat ini, "telah membuktikan bahwa satu-satunya solusi untuk membebaskan para tawanan dan memulihkan stabilitas adalah melalui kesepakatan pertukaran."

Ia menekankan bahwa perlawanan Palestina "telah melaksanakan tugas dan kewajibannya secara maksimal, sementara musuh membiarkan tawanannya dalam keadaan bahaya dan ketidakpastian."

Menyusul pernyataan Abu Hamza, media perang Brigade Al-Quds menerbitkan sebuah video berjudul: “Nasib mereka pasti terkait dengan perilaku Netanyahu.”

Video tersebut memperlihatkan mantan tahanan Israel yang dibebaskan oleh kelompok perlawanan sebagai bagian dari kesepakatan pertukaran. Video tersebut diakhiri dengan kalimat: "Gadi Moses, Arbel Yehud dan rekan-rekannya dibebaskan hanya melalui kesepakatan pertukaran. Bagaimana dengan yang lainnya? Nasib mereka jelas terkait dengan kebijakan Netanyahu."

Mengenai penjajahan Israel, Mayor Jenderal Amos Gilad mengakui bahwa “ tidak ada alternatif selain negosiasi untuk mengembalikan para tahanan.”

Dalam sebuah artikel yang ditulisnya di surat kabar Yedioth Ahronoth, Gilad, yang merupakan mantan kepala departemen politik-keamanan di Kementerian Pertahanan, memperingatkan bahwa dimulainya kembali perang di Jalur Gaza “akan membahayakan nyawa para tahanan.”

Amerika tekan Hamas tak boleh kendalikan Gaza

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Marco Rubio mengatakan kepada Presiden Uni Emirat Arab Sheikh Mohammed bin Zayed Al Nahyan bahwa Hamas tidak boleh memerintah Gaza lagi.

Menurut Juru bicara Departemen Luar Negeri Tammy Bruce dalam percakapan telepon pada Selasa (11/2), Rubio menghargai bantuan kemanusiaan UAE ke Gaza, tetapi ingin memastikan Hamas tidak akan pernah bisa memerintah Gaza atau mengancam Israel lagi,"

Panggilan telepon tersebut dilakukan saat usulan Presiden AS Donald Trump untuk "mengambil alih" Gaza dan menggusur paksa warga Palestina menghadapi kritik internasional yang luas.

Selaini itu, keduanya juga membahas keamanan kawasan, perjanjian gencatan senjata Israel-Hamas di Gaza, dan pembebasan para sandera, termasuk WN Amerika.

Rubio dan Sheikh Mohamed juga menegaskan kembali kekuatan hubungan AS-UEA dan menjajaki peluang kerja sama dalam bidang kecerdasan buatan dan teknologi baru.

 

Mereka selanjutnya membahas "dukungan mereka untuk penghentian permusuhan di Lebanon," kata Bruce.

Menlu AS itu dijadwalkan mengunjungi Timur Tengah minggu ini dengan rencana singgah di UEA, Israel, dan Arab Saudi sebagai bagian dari upaya diplomatik di tengah gencatan senjata yang rapuh di Gaza.

Sebelu,nya pada Senin (10/2), Trump memperingatkan bahwa Gaza akan menjadi "neraka" jika semua tawanan Israel tidak dibebaskan paling lambat pukul 12 siang pada Sabtu (15/2).

Hamas kemudian mengumumkan pada Senin malam bahwa mereka akan menunda tanpa batas waktu pertukaran sandera-tahanan berikutnya yang dijadwalkan pada Sabtu, dengan alasan Israel melanggar perjanjian gencatan senjata.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler