Sabtu 07 Mar 2020 06:09 WIB

Kaus Kaki Bolong Bapak

Dinding rumah tempat untuk mencoret apa saja tergantikan dengan jempol kaki bapak.

Kaos Kaki Bolong Bapak
Foto: Rendra Purnama/Republika
Kaos Kaki Bolong Bapak

REPUBLIKA.CO.ID, Rumah kami tak lagi seperti yang dulu. Tak ada kolam ikan de ngan beragam jenis koi, juga dinding yang bisa dicoret semau kami. Semua berubah. Drastis. Bapak hanya bilang bahwa kami sedang menjalani tahap kehidupan yang lain.

Apa itu kehidupan? Aku ingin menanya kan hal serupa tapi sudah didahului Pipik. Ka kakku itu memang punya hobi menyerobot. Rambut berombaknya akan bergo yang setiap kali dia berhasil menga lahkanku diiringi dengan kedipan mata yang penuh kemenangan.

Bapak yang ditanya terdiam sejenak.Me man dang Ibu, seperti minta bantuan. Kesalahan Bapak, dia sangat suka mengeluarkan kata yang begitu sulit kami cerna. Terlalu tinggi atau otak kami yang memang tak mampu menjangkau itu. Ketika kejadiannya sudah seperti itu, Bapak selalu bilang, Tunggu, Bapak berpikir dulu.

Tapi sekarang Bapak menjawabnya tak sampai dengan hitungan menit.

"Kehidupan itu kita makan, minum, bernapas, hirup udara...." Jeda sejenak. Bapak menatap ke arah atas. Barangkali ada jawaban yang tertulis di sana.

"Bermain, berlari, berjalan...." Pipik menimpali.

"Dan juga ke luar negeri," potongku cepat, takut didahului Pipik lagi.

Bapak menatapku, Ibu juga. Ternyata Pipik juga. Semua tertuju pada satu arah, diriku. Kalau sudah begini, aku ingin tenggelam saja. Takut menimbulkan kemarahan mereka. Padahal kalimat itu sekadar mengingatkan Bapak, tentang janjinya membawa kami liburan ke Dubai.

Sampai di situ, tak ada lagi kalimat lain. Aku rasa cukup, Pipik mungkin juga begitu. Kami masuk kamar dengan beragam pikiran kenapa semuanya menjadi berubah seperti ini. Tak hanya rumah, sekolah kami tak lagi sama dengan yang dulu. Teman-teman kami jelas juga berubah.

Dan di sinilah kami, mulai beberapa hari yang lalu, melintasi pematang sawah setiap pergi dan pulang sekolah yang menghubungkan rumah baru kami di ujung belokan sana. Berkali-kali aku harus terseok dan berhasil meloloskan sepatu dari lumpur. "Kehidupan," kata Bapak. Dan kami tak pernah lagi bertanya macam-macam.

Kecuali pada waktu itu, saat sepatuku mulai berubah warna akibat jejak tanah yang ditimbulkan dari lumpur. Pipik menanyakan kepada Bapak lagi. Dengan setengah enggan.

"Ke mana mobil kita?"

"Ditinggal di rumah yang dulu...."

"Kenapa?" Pipik kembali menyerobot, padahal pertanyaan itu hampir keluar dari mulutku.

"Jalanan di sini terlalu sempit dan terjal. Hanya bisa dilalui dengan jalan kaki."

Sebenarnya aku rindu, dengan rumah yang dulu. Jalanan lebar dengan pepohonan di kanan-kiri jalan. Kalau sepedaku, kenapa harus ditinggal juga? Kali ini aku berhasil bertanya. Biar kalian merasakan bagaimana nikmatnya jalan kaki, dan bagaimana serunya berlari jauh.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement