REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yusuf Maulana*
Sangat jarang nama editor terangkat senyampang mencuatnya sang tokoh. Terangkat sekali lantas dikenal luas, walau berikutnya alami nasib "khas" editor atau penyunting teks: dilupakan.
Demikianlah bila disebut nama AE Priyono. Dia adalah ketekunan khas tipikal aktivis mahasiswa, pers kampus, dan intelektualisme Islam kurun 1990-an Jogja. Ia yang hari ini wafat, adalah sosok penting dikenal-luasnya karya "terbaik" pembuka kekhasan pemikiran Dr. Kuntowijoyo.
Tapi namanya tetap semenjana bagi dunia aktivisme ataupun intelektualisme. Ada andil penting tapi tak diingat banyak orang. Persis banyak yang paham kandungan "Paradigma Islam" atau bahkan kenal kali pertama bila disebut nama Pak Kuntowijoyo.
Tapi siapa yang masih ingat nama AE Priyono? Bila generasi kami yang kenal karyanya saja tak semua ingat, apatah lagi angkatan gawai sekarang. Berapa anak milenial cum aktivis-intelektual yang membaca "Merancang Arah Baru Demokrasi: Indonesia Pasca-Reformasi" (2014) dibanding nama-nama beken yang ada di buku setebal 950 halaman itu?
Apakah begitu "nasib" seorang intelektual balik layar? Dalam arti: sebagai juru racik teks yang bahkan turut memengaruhi pikiran publik. Dalam segi ini, AE Priyono kiranya tanpa terkecuali terimbasi. Padahal, kapasitasnya patut buat dikenal dan diteladani jauh di sekat pergaulan orang yang mengenal dekatnya.
Jejak serius dan tulus di karya yang dihadirkannya (setahu saya tidak begitu banyak yang dikenal luas), dapat dilihat dari kerapian sajiannya. Juga, dan ini penting, prolog atau pembuka yang dihadirkannya. Para penikmat "Paradigma Islam" tentu merasa berterima kasih dengan 23 halaman (edisi cetak 1998; atau 39 pagina di terbitan anyar sedekade kemudian) yang dituliskannya.
Dia seperti menuntun para pembaca tulisan demi tulisan Pak Kuntowijoyo agar pesan utamanya dipahami. Tak berlebihan pelibatan untuk memahamkan itu kalau ditarik dengan subjudul gahar yang dibikin Priyono: Interpretasi untuk Aksi. Entah kenapa, kalimat ini tak hanya menggerakkan tapi juga memancing untuk terus menimba khazanah. Dan kalimat Priyono ini kendati berlanggam intelektual tapi tidak bertendensi genit sensasional sebagaimana beberapa editor yang berlatar sama dengannya.
Karya Priyono dalam sentuhan kurasi teks memang istimewa. Dia mencintai teks, dan itulah dunianya. Juga panggung baginya kendati hanya jadi pesohor yang tak berniat menyohor. Bersahaja saja ia tampil. Kalaulah prolog atau pembuka penuntun karyanya berlembar pagina, itu bukan buat medan pembentukan identitas dirinya. Betapa ada beberapa intelektual yang bila menyunting naskah kadang tak bisa menahan diri untuk bersahaja dalam peran. Ada yang ingin hadir untuk melampaui nama-nama penulis yang ada si bukunya. Dan AE Priyono bukan bermain dengan khidmat karya demikian.
Dalam suasana dukacita atas wafatnya pada Ahad 12 April 2020 ini, hanya empat karyanya yang sempat diingat dan dibaca. Selain "Paradigma Islam", karya lain suntingan Priyono yang sepertinya menu wajib aktivis ataupun peminat intelektualisme generasi 1990-an adalah "Krisis Ilmu-ilmu Sosial dalam Pembangunan di Dunia Ketiga" dan "Tantangan Dunia Islam Abad 21".
Karya pertama merupakan antologi tanah air plis Dr Chris Manning. Karya kedua terjemah atas gagasan Ziauddin Sardar, sosok yang tampaknya dikagumi Priyono. Adapun satu lagi karyanya adalah "Merancang Arah Baru Demokrasi".
Sebenarnya ada lagi buku-buku yang menera namanya, semisal "Kretos Demos" yang tak sempat saya miliki. Sisa jejaknya bertebaran di jurnal dan majalah. Juga koran, semisal di Republika; koran tempatnya berkiprah sekian waktu. .
Orang mungkin tak bakal lagi mengingat nama AE Priyono, hatta karyanya masih ada di ruang baca setiap kita. Bukan semata "garis takdir" seorang penyunting begitu, walau di "Paradigma Islam" nama Priyono bakal dikenang abadi. Hanya itu barangkali. Tapi karya yang lainnya? Di sisi lain, Priyono memang memilih jadi ugahari. Secara personal. Padahal, dia bisa beratraksi lebih dari itu.
Sebab utamanya saya tidak tahu. Ketika banyak kaum intelektual genit jadi pendengung kekuasaan belakangan ini, Priyono sepertinya memilih jalur senyap sesuai garis idealismenya. Setidaknya begitu yang sedikit saya tahu. Teks-teks yang dihasilkan olehnya rasanya sayang apabila dikhianati oleh laku culasnya. Memang hak sesiapa pun. Syukurnya, AE Priyono menetapi di garis khidmat teks yang dipahatnya. n
*Pensyarah pustaka lawas di Perpustakaan Samben, Yogyakarta; penulis "Mufakat Firasat".