REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Firdaus, Guru Besar Ilmu Ekonomi Institut Pertanian Bogor
Dalam keadaan yang biasa saja, baik secara filosofis maupun yuridis, Pemerintah berkewajiban menjaga pasokan pangan. Sebagai negara dengan jumlah penduduk lebih dari 260 juta jiwa, dan satu-satunya negara kepulauan sangat besar di dunia, penyediaan pangan secara aman adalah suatu keniscayaan.
Ini sudah diamanahkan dalam berbagai UU. Pada saat menghadapi situasi pandemik Covid 19, berbagai langkah yang tidak biasa patut diambil untuk menjamin pencapaian kondisi tersebut.
Terkait hal tersebut, tulisan ini membahas instrumen untuk pengelolaan logistik pangan, khususnya dalam bidang transportasi pangan.
Pandemik Covid-19 setidaknya membawa beberapa perubahan pada permintaan dan pasokan pangan. Dari sisi permintaan memang terjadi kontraksi yang bersumber dari beberapa pengguna semisal horeka, tempat hiburan, wisata, acara resepsi dan pesta lainnya.
Di sisi lain ada lonjakan permintaan terutama untuk buah, sayur dan rempah-rempah di pasar modern dan direct selling. Pasar modern meminta empon-empon misalnya lebih dari sepuluh kali lipat dari hari biasa. Pola transaksi semakin banyak mengarah pada pemanfaatan fintech melalui marketplace yang sudah bertumbuh cukup banyak.
Beberapa pasar modern dan juga pasar tradisional menyediakan jasa kurir untuk konsumen yang memesan lewat telepon pintar.
Banyak pihak sebenarnya sudah faham bahwa tidak boleh ada hambatan untuk pergerakan pangan. Namun pada beberapa waktu lalu sempat terjadi kasus dalam mobilitas produk hortikultura dari sentra produksi. Kejadian ini justru menyadarkan banyak pihak urgensi koordinasi dan kolaborasi yang lebih baik untuk pangan.
Setidaknya ada empat langkah yang dapat diambil untuk memastikan logistik untuk pemenuhan pasokan pangan segar secara baik, terutama dalam suasanapandemik Covid-19 ini, yaitu: pertama, informasi yang akurat tentang persediaan komoditi di tiap wilayah, setidaknya sampai tiga bulan ke depan.
Kedua, Mengidentifikasi moda angkutan yang dapat dioptimalkan untuk mempercepat pergerakan komoditas dari sentra-sentra produksi.
Ketiga, mempertemukan dengan pasar, baik pasar tradisional yang masih menguasai lebih dari dua pertiga kebutuhan masyarakat, maupun pasar modern dan diect selling oleh berbagai platform.
Keempat, mempertemukan keahlian berbagai pelaku, baik produsen maupun asosiasi dan kelompok; pemasar dan pemangku kebijakan. Dengan ini akan terbentuk orkestra yang harmoni (Edi P Pambudi, 2020).
Moda tranportasi pangan di Indonesia sebelum ini masih relatif terbatas diperbincangkan di ruang publik. Lalu lintas kendaaraan darat dan udara lebih banyak mengangkut orang. Pemanfaatan jalan bebas hambatan masih banyak oleh mobil yang mengangkut orang.
Pada beberapa kasus seperti di beberapa wilayah, kendaraan pengangkut barang agak sulit menggunakan jalan bebas hambatan karena topografi jalan yang kurang memadai bagi truk dan pick-up, yang juga sering melebihi muatan karena tidak ada lagi fungsi jembatan timbang.
Untuk angkutan udara, jumlah yang berfungsi sebagai kargo sangat minimum dibandingkan dengan pengangkutan penumpang; sehingga biaya yang ditawarkan oleh jasa penerbangan relatif sangat mahal. Berbeda dengan negara setaraf lain seperti Thailand dan China, yang sangat memfasilitasi pengangkutan barang lewat udara termasuk untuk kepentingan mendukung ekspor.
Di Amerika Serikat, penanganan tranportasi produk pertanian menjadi salah satu prioritas program dari Agricutural Marketing Service Departemen Pertanian. Institusi yang penting namun di Indonesia dipecah-pecah berdasarkan komoditas di bawah Kementerian, sehingga bidang pemasaran, baik domestik maupun internasional, sulit melihat persoalan yang sering harus dipandang secara agregat.
Disparitas harga pangan juga terjadi pada negara maju seperti Amerika Serikat. Dengan sistem distribusi yang baik, dilengkapi dengan konsep food hub di negara bagian, maka perdagangan antar wilayah di dalam negeri terus meningkat. Ini sekaligus dapat mengurangi impor untuk wiayah yang dekat dengan perbatasan.
Mungkin tidak jauh berbeda dengan Indonesia, di Amerika Serikat pengguna terbanyak semua moda angkutan barang adalah sektor pertanian, sekitar seperempat dari total jasa tranportasi.
Secara umum moda yang paling banyak digunakan adalah truk, sekitar separo lebih dari semua pengangkutan. Ini terutama untuk antar negara bagian yang agak berdekatan dan yang memerlukan fasilitas pendingin sangat khusus.
Di urutan kedua adalah kereta api, mencakup hampir sepertiga dari total dan berikutnya baru angkutan air.Sebagai wilayah kontinental, dengan bentangan ribuan km antar ujung-ujung negara, maka penggunaan kereta api di Amerika Serikat sudah jamak sekali.
Secara teoritis, berdasarkan kombinasi jarak dan efisiensi transportasi, untuk di daratan memang bila lebih dari 500 km, penggunaan kereta api adalah yang paling disarankan; sebaliknya jika lebih dekat, penggunaan truk yang lebih direkomendasikan.
Di Indonesia, untuk Pulau Jawa, bentangan dari sentra produksi semisal dari Jawa Timur ke Jakarta lebih dari 1.000 km. Dengan beberapa kelebihan kereta api yaitu tingkat keamanan yang lebih terjamin; terhindar dari “pungli” dan ketepatan waktu, baik keberangkatan atau selama perjalanan; maka kereta api sebenarnya dapat menjadi favorit moda transportasi pangan, Setidaknya ada 60 titik stasiun di Pulau Jawa yang dapat digunakan oleh produsen dan pedagang.
Di Sumatera pun, angkutan bahan tambang seperti batu bara sejak dahulu dibangun dari Lampung ke Sumatera Selatan, Sumatera Barat dan Sumatera Utara menggunakan kereta api. Rancangan ini sebetulnya sudah difikirkan sejak lama.
Pada saat Pasar Induk Beras Cipinang dibangun pada tahun 1972 dan mulai beroperasi di tahun 1974, dalam master plan sudah tertera pemanfaatan angkutan beras menggunakan kereta api, baik yang berasal dari Jawa Barat (Garut sampai Cijulang); Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam rancangannya, gudang di Pasar Induk Cipinang akan terkoneksi langsung dengan kereta api yang datang, sehingga dibangun di pinggir pelintasan kereta api.
Namun hingga saat ini penggunaan kereta api untuk pangan masih sangat minim dan sudah dimulai dengan kolaborasi antara PT KAI dengan berbagai pihak.Dalam kajian yang pernah dilakukan oleh peneliti IPB, adanya kewajiban produk pangan khususnya beras untuk masuk ke Pasar Induk Cipinang terlebih dahulu sebelum ke pasar ritel tradisional, sulit berjalan secara total. Ini akan menjadi analogi mengapa penggunaan kereta api masih sangat terbatas.
Produsen dan pedagang jika akan menggunakan kereta api harus melakukan bongkar muat dari gudang atau lahan dimana produk dihasilkan untuk diangkut ke stasiun. Berikutnya, stasiun tujuan semisal di Jabodetabek saja belum tersedia secara keseluruhan, misalnya PT KAI baru melayani pengangkutan barang untuk wilayah Kota Jakarta; belum untuk Bogor, Depok atau Bekasi.
Sehingga dalam hal ini keberadaan feeder yang berfungsi mengantarkan barang ke dan dari stasiun ke pasar atau konsumen menjadi sangat urgens.
Dalam suasana Pandemik Covid-19 ini, ada beberapa upaya yang dapat didorong untuk mempercepat pergerakan produk pangan, terutama bila beberapa wilayah sudah efektif menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar.
Pertama, langkah untuk membangun orkestra yang harmoni di atas terus diwujudkan dan difahami sebanyak mungkin pemangku kebijakan.
Kedua, insentif dapat diberikan kepada pelaku usaha baik BUMN, BUMD atau swasta yang berfungsi sebagai feeder, semisal dalam bentuk insentif fiskal (pemotongan pajak); subsided bahan bakar; atau setidaknya aspek legal berupa surat atau stiker bahwa memang tidak ada gangguan yang akan dialami selama perjalanan; berkoordinasi dengan BNPB dan Kepolisian.
Ketiga, mengoptimalkan penggunaan moda transportasi daring dalam mendistribusikan barang kepada konsumen rumah tangga. Kerja sama yang dilakukan oleh Kementerian dengan pelaku usaha sudah baik dan terus ditingkatkan.
Wabah yang dibawa Coronavirus ini mengajarkan kita banyak hal. Kolaborasi PT KAI dengan BUMD di Jakarta seperti PT Food Station, dan pelaku usaha pertanian sudah dimulai, dengan mengangkut telur dari Blitar ke Jakarta dan beberapa produk hortikultura dari Jawa Tengah dan Jawa Tmur.
Upaya digitalisasi dalam pemasaran produk pertanian selama ini sudah berkembang, namun masih belum begitu menggembirakan. Para pemain marketplace sudah menetapkan harga setidaknya bersaing dengan ritel modern; dengan marjin yang lebih besar diterima oleh petani karena semakin pendeknya rantai pemasaran.
Semakin besarnya skala layanan, ke depan diharapkan harga akan semakin bersaing, karena dua pertiga konsumen pangan segar masih membeli di pasar tradisional atau melalui pedagang keliling di perumahan yang harganya lebih murah. Pasar tradisional sudah mulai menggunakan teknologi digital untuk mencapai konsumen.
Fungsi moda transportasi menjadi penting sekali dalam hal ini. Semoga tidak lama lagi pemesanan untuk angkutan pangan di kereta api akan berjalan menyaingi pesanan dari penumpang yang ingin berpergian. Sinergi semua pihak selalu menjadi kata kunci.