REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nur Aini*)
Pandemi virus corona di awal Mei 2020 memasuki babak baru untuk beberapa negara. Selandia Baru, Jerman, Vietnam, dan Korsel telah mencatat penurunan signifikan kasus baru virus corona Covid-19. Kecilnya kasus baru virus corona membuat negara-negara itu ancang-ancang untuk membuka karantina wilayah atau lockdown dan pembatasan sosial. Namun, babak baru itu tidak terjadi di Indonesia.
Saat berbagai negara melonggarkan kebijakan lockdown dengan alasan kasus baru virus corona harian mengecil atau bahkan nol, Indonesia justru masih berjibaku dengan pasien positif Covid-19 yang telah menembus 10 ribu kasus. Mengapa negara-negara seperti Selandia Baru, Jerman, Vietnam, dan Korsel mampu sampai ke babak baru penyebaran virus corona, sementara Indonesia belum melihat kapan puncak kasus virus corona? Ada hal yang secara signifikan membedakan penanganan virus corona sejumlah negara itu dengan Indonesia yaitu kepemimpinan.
Di pertengahan April, Forbes menerbitkan sebuah artikel mengenai kepemimpinan yang secara khusus menyoroti kebijakan pemimpin perempuan dalam menghadapi virus corona. Dalam artikel itu, sejumlah negara yang dipimpin perempuan terbukti tanggap dan mampu menekan kematian korban virus corona dibandingkan dengan negara-negara lain yang dipimpin oleh para laki-laki. Para pemimpin perempuan di berbagai negara seperti Selandia Baru, Taiwan, Jerman, Finlandia, Islandia, dan Norwegia menghadirkan kebijakan alternatif yang semestinya menjadi pelajaran bagi para pemimpin lain di dunia. Pelajaran berharga dari para pemimpin perempuan tersebut adalah percaya pada kebenaran. Mereka tidak menyangkal atau menolak informasi para ahli tentang penyebaran virus corona.
Selandia Baru dan Jerman melewati fase menyangkal keberadaan virus corona. Para pemimpinnya menganggap serius virus corona yang telah dinyatakan pandemi oleh WHO pada Maret. Penerimaan atas fakta tersebut membuat para pemimpin perempuan tersebut dengan cepat merespons dan mempersiapkan negaranya menghadapi virus corona. Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern langsung menerapkan karantina nasional saat kasus virus corona yang terkonfirmasi baru 6 orang. Begitupun dengan Kanselir Jerman, Angela Merkel yang segera memerintahkan tes massal di negaranya. Dipadu dengan ketegasan para pemimpin perempuan, negara-negara itu sukses menekan jumlah korban virus corona di saat negara yang dipimpin laki-laki seperti Amerika Serikat, Italia, dan Spanyol kelabakan dengan kasus Covid-19 tertinggi di dunia.
Kualitas para pemimpin tersebut jauh berbeda saat melihat pengalaman Indonesia. Pada Februari lalu, ahli Harvard dan WHO telah memperingatkan masuknya virus corona di Indonesia. Namun, Menteri Kesehatan Terawan yang kini jarang muncul, mengabaikan peringatan itu. Presiden Joko Widodo pun justru membuat kebijakan pariwisata untuk memanfaatkan momentum virus corona. Sementara, DPR tidak ada suaranya saat pemerintah mengabaikan peringatan. Penyangkalan atas penyebaran virus corona yang cepat harus dibayar mahal oleh Indonesia dengan kasus positif Covid-19 terus melonjak. Atas kebijakan yang salah dan terlambat itu hingga hari ini tidak ada pernyataan penyesalan dan perbaikan dari para pemimpin negara.
Keunggulan kepemimpinan perempuan memang tidak dimiliki Vietnam dan Korsel. Tapi, pemimpin kedua negara tersebut bisa menangani penyebaran virus corona dengan lebih baik yang terbukti dengan rendahnya kematian dan kasus baru. Mengapa itu bisa terjadi? Negara-negara itu fokus menggunakan segala sumber daya untuk mengatasi virus corona. Perdana Menteri Vietnam, Nguyen Xuan Phuc mengkarantina 75 ribu warga, menghentikan pertemuan publik, dan pembatasan sosial sejak awal Maret. Dia juga meminta kota-kota besar bersiap melakukan karantina. Pemerintah Vietnam segera meminta produksi masker dan ventilator buatan dalam negeri. Sementara, Presiden Korsel Moon Jae-in menetapkan wilayah terdampak parah virus corona sebagai zona bencana khusus. Wilayah itu mendapatkan subsidi 50 persen biaya pemulihan daerah, warganya dibebaskan pajak dan tagihan listrik serta air.
Di saat negara lain fokus urus virus corona, para pemimpin di Indonesia tak menunjukkan upaya serupa. Kebijakan untuk mengatasi virus corona malah menuai kontroversi. Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sempat dikritik sebagai kebijakan yang tidak serius, tidak ada pembatasan transportasi yang membuat gelombang mudik dini. Keputusan PSBB pun sempat jadi tarik ulur pemerintah pusat dan daerah. Ketiadaan kewajiban negara memenuhi kebutuhan pokok warga terdampak PSBB pun berujung persoalan. Lain lagi dengan kebijakan Kartu Prakerja yang sarat permasalahan dari bancaan proyek Rp 5 triliun hingga tak tepat sasaran memenuhi kebutuhan mendesak pekerja yang kehilangan pekerjaan: makan.
Kebijakan pemerintah sarat masalah itu tak membuat DPR bergeming untuk mengawasi. Kualitas pemimpin perempuan yang dimiliki negara-negara lain jelas tidak tergambar dari pemimpin DPR. Saat rakyat berjibaku menghadapi dampak virus corona pada kehidupan dasar kesehatan dan pekerjaan, DPR yang dipimpin oleh perempuan itu justru sibuk membahas Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Saat rakyat diminta di rumah saja, pembahasan RUU bisa dipastikan jauh dari partisipasi dan transparansi. Apalagi, pembahasan RUU dilakukan secara virtual yang memiliki keterbatasan dalam penyampaian ke publik.
Indonesia memang telah ketinggalan dalam mempersiapkan negara menghadapi virus corona. Namun, penyangkalan jangan dilanjutkan. Saatnya fokus mengatasi virus corona. Arahkan seluruh sumber daya yang dimiliki negara untuk menangani dampak virus corona dan mencegah kasus baru. Dalam kondisi krisis ini, kualitas pemimpin diuji. Di periode kedua kepemimpinan ini, Presiden Jokowi memang sudah tidak ada beban untuk merebut hati rakyat untuk kembali terpilih. Tapi, sejarah akan mencatat, bagaimana dunia menghadapi pandemi virus corona pada 2020 dan Indonesia bukan salah satu negara yang akan menjadi rujukan pelajaran.
*) penulis adalah jurnalis republika.co.id