Selasa 05 May 2020 14:40 WIB

Zakat Mal Bantu Kurangi Kesenjangan

Penyaluran zakat harus melalui lembaga amil terpercaya.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Muhammad Hafil
Zakat Mal Bantu Kurangi Kesenjangan . Foto: Ilustrasi Zakat
Foto: Republika/Mardiah
Zakat Mal Bantu Kurangi Kesenjangan . Foto: Ilustrasi Zakat

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kata zakat menurut bahasa memiliki arti tumbuh, berkembang, subur atau bertambah. Dalam QS Al Baqarah ayat 276, Allah SWT bersabda, "Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa".

Zakat merupakan salah satu rukun Islam. Karenanya, zakat menjadi salah satu unsur pokok bagi tiang syariat Islam.

Baca Juga

Wakil Ketua Dewan Pertimbangan (Wantim) Majelis Ulama Indonesia (MUI), Prof Didin Hafidhuddin menyatakan, zakat adalah ibadah yang sudah ditentukan para penerima atau mustahiknya. Ada delapan golongan yang wajib menerima. Golongan pertama dan kedua adalah pihak yang paling diutamakan, fakir dan miskin.

"Masalah terbesar di suatu negara, masyarakat, adalah perihal kemiskinan. Sudah banyak usaha yang dilakukan pemerintah untuk menghapus kemiskinan, tapi tetap ada saja masalahnya," ucap Prof Didin saat dihubungi Republika, Rabu (22/4).

Ada beragam faktor yang menyebabkan masalah kemiskinan ini tidak cepat teratasi. Salah satunya adalah pembagian yang tidak tepat sasaran utamanya dalam memotret orang fakir, miskin, sehingga masih banyak yang terlantar.

Maka, hal ini jelas berbeda dengan zakat yang sudah jelas targetnya. Bagi yang memiliki zakat harta atau zakat mal, pembagiannya diatur oleh lembaga yang amanah, kredibel, dan terpercaya.

Selanjutnya, zakat ini diberikan kepada orang miskin dan fakir yang berhak. Sifatnya bukan konsumtif yang habis saat itu juga, tetapi harus produktif untuk modal kerja, usaha, ekonomi, pendidikan, maupun kesehatan.

Prof Didin menyebut, jika zakat disalurkan tepat sasaran, akan mampu mengangkat harkat, derajat, serta martabay kaum dhuafa. Dari awalnya berstatus sebagai mustahik atau penerima, bisa naik tingkat menjadi pemberi atau muzakki.

"Ini bisa terjadi dengan catatan, pengelola zakatnya punya data yang berkaitan dengan mustahik. Orang miskin dilihat lagi latar belakangnya. Jika ia miskin karena tidak punya pekerjaan, maka perlu disiapkan lapangan pekerjaan. Atau miskin karena kesehatannya terganggu, maka berikan zakat yang bisa membantu ia berobat. Jika seseorang miskin karena tida punya pengetahuan, maka berikan zakat untuk mereka mendapatka pendidikan. Jadi ini tepat sasaran," lanjutnya.

Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional Republik Indonesia periode 2004 - 2015 ini juga menyebut, tujuan zakat untuk membantu mustahik, meningkatkan derajat mereka, sehingga datanya harus konkrit.

Untuk menyalurkan zakat tepat sasaran, diperlukan kerja sama dengan pemerintah. Tugas mensejahterakan rakyat adalah milik pemerintah. Tetapi, masyarakat bisa membantu tugas tersebut melalui dana zakat yang dikelola dengan baik.

Dalam kondisi terdesak, seperti saat ini ada bencana wabah Covid-19, dana zakat boleh digunakan bagi mereka yang terdampak. Tentu, zakat yang diberikan tidak bisa untuk tujuan produktif. Kebanyakan konsumtif, yang dibutuhkan saat itu.

Ia juga menegaskan jika tujuannya meningkatkan kesejahteraan mustahik, maka penyaluran zakat harus melaui lembaga amil terpercaya. Berbeda dengan infak atau sedekah.

Lembaga amil nantinya tidak hanya menyalurkan dana zakat, tapi juga bertugas mendampingi, memberi advokasi terhadap mereka yang mendapat zakat.

Zakat juga bentuknya tidak hanya perseorangan. Perusahaan juga bisa memberikan zakatnya. Syaratnya, ketika perusahaan memiliki modal senilai 85gram emas dan sudah datang satu tahun, maka wajib mengeluarkan zakat sebesar 2,5 persen.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement