REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ina Salma Febriany
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar..
Laa ilaaha illa Allah, Huwa Allahu Akbar..
Allahu Akbar, wa Lillahil Hamd..
Alhamdulilah, gema takbir berkumandang di seantero dunia. Allah pertemukan kembali umat Islam pada hari raya Idul Adha yang masih dalam suasana pandemi corona. Beberapa masjid yang sudah masuk kategori aman/ zona hijau, membuka akses untuk menajalani shalat Ied berjamaah.
Sementara yang masih masuk kategori merah bahkan hitam, dianjurkan untuk shalat di rumah saja demi kemaslahatan bersama. Dimanapun ibadah sunnah shalat ied itu terlaksana, hendaknya spirit pengorbanan luar biasa sepasang anak dan ayah yang tak lekang oleh waktu ini, tetap dijadikan sumber hikmah sejati.
Hikmah yang di dalamnya mengandung rasa cinta dan ketaatan mendalam pada Rabb seluruh alam. Kisah tentang bagaimana manusia menghamba hanya pada-Nya dan ikhlas memberikan apa yang ia miliki hanya demi memuliakan Dia Yang Maha Tinggi. Mengingat bahwa Allah-lah tempat segala sumber rezeki, penghidupan, kecukupan, kepada-Nya pula tempat kembali.
Bukti cinta Nabi mulia kepada Allah dan ketaatan anaknya tersebut diabadikan dalam Qs. ash-Shafa't 102, “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar,”
Dialog di atas menggambarkan betapa bijaknya sikap seorang Ayah ketika mendapatkan ‘tugas besar’dari Allah Yang Maha Kuasa. Sikap bijak itu terlihat dari dialog di atas bahwa sang ayah tak lantas mengayunkan sebilah pisau ke leher sang putera, namun ‘mendiskusikan’ terlebih dulu bagaimana sebaiknya?
Melalui sikap tersebut, secara tidak langsung, Nabi Ibrahim melakukan sekaligus mencontohkan apa yang disebut dengan prophetic parenting strategy—strategi pengasuhan ala Nabi yang semestinya diteladani oleh para orangtua untuk mau mendengarkan ‘suara’ anak dalam memutuskan segala hal baik yang terkait dengan penghidupan maupun masa depan anak.
Teladan yang diberikan Nabi Ibrahim as terhadap anaknya melalui sikap terbuka dan mau berdiskusi, membuahkan jiwa anak yang tulus ikhlas dan pemberani. Tanpa gentar, Nabi Ismail as sangat yakin dan teguh pendirian. Alih-alih takut atau melarikan diri, ia justeru menyerahkan diri pada sang ayah, agar segera mengeksekusi perintah yang hadir dalam mimpi. “…Hai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar,”
Berkat keikhlasan dan kecintaan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail pada Allah, Allah pun ridha. Sungguh, Allah tidak benar-benar memperkenankan prosesi penyembelihan itu. Allah hanya menjadikan Ismail sebagai ‘ujian’ ketaatan Nabi Ibrahim as padanya sebagai bukti pengorbanan, keikhlasan, sekaligus pengingat bahwa anak hanyalah titipan, Ibrahim pun akhirnya lulus ujian.
Perintah yang hadir melalui mimpi itu telah sanggup ia tunaikan. Sebagai hadiah lulus ujian ketaatan tersebut, Allah pun mengganti Ismail dengan dzibhin ‘adzhim—sembelihan (kambing kibas) besar. Melalui perinstiwa inilah, Allah memberikan isyarat perintah berkurban untuk seluruh umat Islam yang sebisa mungkin diupayakan.“Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (ash-Shafa't 105-107).
Meneladani Nabi-nabi Allah bisa dengan berbagai cara. Cara sederhananya ialah dengan mau berupaya untuk melakukan apa yang beliau laksanakan sebagai buah ketaatan. Jika Nabi Ibrahim dengan teguh pendirian, penuh keikhlasan untuk mau menjadikan Ismail, anak kandungnya sendiri yang teramat ia sayangi sebagai kurban terbaiknya, semestinya kita juga belajar dan bersedia untuk mengurbankan ‘Ismail’ yang kita punya; dengan beragam bentuknya. Baik berupa materil maupun non-materil, sebab kedua jenis rezeki itu bersumber dari Allah.
Karenanya, Idul Adha sejatinya mengajarkan kita semua untuk mengabaikan sejenak keinginan-keinginan duniawi yang tiada habisnya, hasrat diri ingin membeli ini-itu tanpa pertimbangan, mengutamakan perilaku konsumtif yang semua itu adalah sebagian sifat dasar manusia yang selalu punya banyak keinginan dan tak pernah habis untuk dipuaskan; saat inilah, momen yang tepat untuk mengikis segala hawa nafsu itu dan belajar mengorbankan ‘Ismail’ yang kita punya.
“Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) "Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim". Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. (ash-Shafa't 108-110)
Nabi Ibrahim dan Ismail, sepasang ayah-anak yang banyak memberikan kita keteladanan, selain bagai peletak dasar pondasi Ka’bah, peristiwa sakral sa’i dalam rangkaian ritual haji maupun keikhlasan untuk mau berkurban, membuat Ibrahim menjadi sosok ayah yang selalu menjadi pujian.
Namanya selalu kita doakan dalam lafadz tahiyat akhir dalam shalat. Salam, kesejahteraanlah untukmu, Nabi Ibrahim. Darimu telahir banyak nabi utusan Allah. Darimu pula kami belajar bahwa dengan tulus ikhlas berkurban, maka Allah selalu dan selamanya akan memberi balasan.
Demikianlah, setiap niat dan pengorbanan yang baik, selalu diganti dengan balasan yang jauh lebih baik. Mari, kita belajar menjadikan momentum Idul Adha ini untuk mau bersedia, tulus-ikhlas mengurbankan Ismail-Ismail yang kita miliki; karena berharap ridha Allah semata.