REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dideklarasikan di Padang pada 15 Februari 1958 oleh Letkol Amad Hussein. Presiden Sukarno kala itu mengecap PRRI-Permesta sebagai "pemberontakan."
Padahal, Gerakan PRRI tak bermaksud memisahkan diri dari Republik Indonesia. Sejatinya, peristiwa itu adalah gerakan anti-Jakarta atau anti-pemerintah pusat belaka. Sebab, rezim Bung Karno saat itu dianggap kelewatan, telah memberikan angin segar kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai kekuatan komunisme terbesar ketiga setelah Uni Soviet dan Cina Komunis. Selain itu, pemerintah pusat juga dinilai telah menganaktirikan daerah dalam pembangunan nasional.
Tambahan pula, Sukarno dianggap telah menabrak beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Sebab, ia telah mengangkat dirinya sendiri sebagai formatur kabinet (Kabinet Juanda).
Lima hari sebelum pembentukan PRRI, di Padang pada 10 Februari 1958, Letnan Kolonel Ahmad Hussein menyampaikan "Piagam Perjuangan Menyelamatkan Negara".
Inti Piagam tersebut ialah:
- Menuntut supaya dalam 5 X 24 jam sejak tuntutan ini diumumkan, Kabinet Djuanda mengembalikan mandat kepada Presiden/Pejabat Presiden, dan Presiden/Pejabat Presiden mengambil kembali mandat Kabinet Djuanda.
- Supaya Hatta dan Hamengku Buwono IX ditunjuk untuk membentuk satu Zaken Kabinet Nasional.
- Berseru kepada Bung Hatta dan HB IX agar jangan sekali-sekali menolak tanggung jawab ini.
- Menuntut kepada DPR dan para pemimpin rakyat supaya dengan sungguh-sungguh memungkinkan Hatta-HB IX membentuk kabinet.
- Menuntut kepada Presiden Sukarno supaya bersedia kembali mematuhi kedudukannya sesuai dengan konstitusi, dan memberi kesempatan sepenuhnya kepada Hatta-HB IX untuk membentuk kabinet.
- Apabila tuntutan 1 dan 2 tidak dipenuhi maka sejak saat itu kami terbebas dari wajib taat kepada Dr. Ir. Sukarno sebagai Kepala Negara.
Untuk diketahui, Bung Karno saat itu telah melenceng dari Konstitusi. Sebagai contoh, pembentukan Kabinet Karya--yang dibentuk oleh "warga negara Indonesia bernama" Dr Ir Sukarno atas mandat dari Presiden Sukarno. Bagaimanapun, pembentukan PRRI pun dapat dikatakan inkonstitusional juga. Intinya, situasi hubungan antara pusat dan daerah pada masa itu sedang panas.
'Seandainya...'
Sebenarnya, Sukarno bisa saja dianggap tidak melanggar Konstitusi dengan mengangkat dirinya sendiri sebagai formatur kabinet seandainya dalam UUDS 1950 ada escape clause, sebagaimana telah diusulkan Fraksi Partai Masyumi.
Ceritanya bermula pada 8 Maret 1950. Waktu itu, Mosi Integral Natsir sudah disetujui pemerintah dan parlemen. Mosi itu menyebabkan pulihnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan pada saat berakhirnya riwayat Republik Indonesia Serikat (RIS), yang mana Republik Indonesia hanyalah satu negara bagian di dalamnya.
Sebelum 17 Agustus 1950 (hari pulihnya NKRI), Komite Persiapan dibentuk. Tugasnya untuk mempertemukan perwakilan semua negara bagian RIS. Di samping itu, komite tersebut juga bertugas merumuskan rancangan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS)—pengganti Konstitusi RIS.
Yang cukup menarik ialah silang pendapat antara kubu Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) di satu sisi dan Masyumi di sisi lain. Sjafruddin Prawiranegara dari Fraksi Masyumi mengusulkan adanya satu pasal escape clause dalam UUDS 1950 yang memungkinkan Presiden, dalam keadaan darurat, untuk memegang kekuasaan eksekutif.
Sebab, sistem UUDS 1950 itu ialah parlementer; di mana kekuasaan eksekutif dijalankan kabinet yang formaturnya ditunjuk Presiden, tetapi hanya bertanggung jawab kepada Parlemen. Presiden hanya menjadi lambang persatuan negara, tidak memiliki kekuasaan memerintah langsung.
Sjafruddin mendasari usulannya pada fakta, bahwa sejak Proklamasi RI kepemimpinan Sukarno amat sangat berpengaruh terhadap jalannya pemerintahan.
Satu dari sekian banyak contoh: Dwitunggal Sukarno-Hatta mampu mengatasi pemberontakan PKI pada 1948. Kharisma keduanya membuat rakyat Madiun dan sekitarnya tidak mau bergabung dengan Musso yang komunis.
Namun, usulan itu ditolak PNI dan PSI yang lantas memengaruhi mayoritas suara di Komite Persiapan.
Padahal, escape clause demikian sangat mungkin dapat menjadi sekoci penyelamat keutuhan Indonesia di kemudian hari, terutama pada 1957 ketika Presiden Sukarno menunjuk dirinya sendiri sebagai formatur kabinet--sehingga memicu ketidakpuasan para penyokong PRRI.
“Kalau usul Sjafruddin mengenai (pasal) escape clause itu diterima dan dimasukkan dalam UUDS 1950, mungkin persoalan daerah dapat dipecahkan dan tragedi PRRI tidak usah terjadi,” tulis Ajip Rosidi dalam buku biografi tentang Sjafruddin Prawiranegara (1986).