Rabu 30 Sep 2020 08:17 WIB

Kegalauan Keluarga Mayjen Jamin Gintings Usai Malam G30S/PKI

Iring-iringan kendaraan militer lewati rumah Mayjen Jamin Gintings di malam G30S/PKI.

Rep: Slamet Ginting/ Red: Muhammad Hafil
Kegalauan Keluarga Mayjen Jamin Gintings Usai Malam G30S/PKI. Foto: Mayjen Jamin Gintings
Foto: WIkipedia
Kegalauan Keluarga Mayjen Jamin Gintings Usai Malam G30S/PKI. Foto: Mayjen Jamin Gintings

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Slamet Ginting / Wartawan Senior Republika

Secara mendadak tanpa penjelasan sedikit pun, Menteri/Panglima Angkatan Darat (Menpangad) Letnan Jenderal Ahmad Yani memerintahkan Asisten II (Operasi dan Latihan) Menpangad Mayor Jenderal Jamin Gintings untuk mendampingi Soebandrio. Soebandrio bukan orang sembarangan karena memiliki segudang jabatan penting pada pemerintahan Presiden Sukarno. Saat itu, ia disebut sebagai orang kedua di pemerintahan setelah Bung Karno.

Baca Juga

Dia menjabat sebagai wakil perdana menteri (waperdam) I merangkap sebagai menteri luar negeri dan menteri hubungan ekonomi luar negeri, bahkan sebagai kepala Badan Pusat Intelijen (BPI). Kalau di era sekarang disebut Kepala Badan Intelijen Negara (BIN).

Karena kedudukannya yang sangat penting, sebagai sipil, Soebandrio diberikan pangkat militer tituler, yakni marsekal madya. Mengapa? Karena, lelaki yang pernah menjadi anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI) itu adalah anggota dari Komando Operasi Tertinggi dalam Operasi Dwikora dan Trikora.

"Kawal dan laporkan apa saja yang dilakukan Pak Soebandrio di Aceh dan Medan," kata Yani kepada Jamin di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) pada pekan ketiga Oktober 1965, seperti diceritakan Likas Tarigan, istri dari Jamin Gintings, di kediamannya kepada wartawan Republika, Slamet Ginting pada 2014 lalu.

Maka, pada 29-30 September dan 1 Oktober 1965, Mayor Jenderal Jamin Gintings berada dalam rombongan Waperdam Soebandrio yang melakukan kunjungan kerja ke Sumatra Utara dan Aceh. Untuk mengawal tokoh senior, memang dibutuhkan jenderal senior yang memahami sebuah wilayah nusantara.

Ahmad Yani memilih Jamin Gintings karena pernah menjadi Panglima Tentara dan Teritorium Bukit Barisan (sekarang disebut Panglima Kodam Bukit Barisan). Juga, menguasai wilayah Sumatra Utara dan Aceh yang merupakan basis pertempurannya saat melawan agresi militer Belanda.

Memang aneh, seharusnya yang mengemban tugas seperti ini adalah asisten I (pengamanan/intelijen), bukan asisten operasi. Namun, Yani memang begitu percaya kepada Jamin yang dikenalnya sebagai tentara yang antikomunis. Alasan itu pula yang membuat Yani memilih Jamin sebagai asisten operasi dan latihan di MBAD pada 30 Juni 1962. Jamin, antara lain, bertugas menyiapkan langkah operasi untuk pelaksanaan operasi militer Dwikora maupun Trikora.

Memang tidak pernah ada yang menyangka akan ada peristiwa dadakan pada malam 30 September atau dini hari 1 Oktober 1965. Sebuah iring-iringan kendaraan militer melewati Jalan Sisingamangaraja Nomor 12, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, tempat tinggal Jamin Gintings. "Saya terbangun, tetapi truk-truk itu terus melewati rumah kami," ujar Riahna Gintings, putri kedua Jamin Gintings.

Setelah matahari terbit, Riahna yang saat itu berusia 13 tahun baru menyadari bahwa iring-iringan truk itu terus melaju ke Jalan Hasanuddin, rumah keluarga Brigadir Jenderal DI Panjaitan, Asisten IV (logistik) Menpangad. "Dari ibu, saya tahu bahwa Om Panjaitan gugur ditembak pasukan dari truk-truk yang sempat melewati rumah kami."   

Bukan hanya Brigadir Jenderal DI Panjaitan yang gugur, melainkan separuh dari pejabat tinggi MBAD. Dari 12 pejabat tinggi tersebut, enam jenderal gugur dalam peristiwa yang terjadi pada 1 Oktober 1965 itu. (Lihat susunan pejabat tinggi MBAD).

 

Galau

Kegalauan pun melanda keluarga Jamin Gintings setelah mengetahui enam jenderal dan ajudan Jenderal AH Naustion, yakni Letnan Satu (Zeni) Pierre Tendean gugur dalam peristiwa tersebut. "Suami saya tidak berada di Jakarta, hubungan telepon pun putus. Beliau ditugaskan memantau gerak-gerik Wapredam Soebandrio di Medan dan Aceh," ujar Likas Tarigan.

Ia pun bergegas ke lapangan terbang Kemayoran Jakarta untuk menitipkan surat kepada pilot yang akan menuju Medan. Isi suratnya singkat saja. "Apa kabar Abang di sana? Kami sehat dan selamat di Jakarta. Selamatkan dirimu!"

Sesampainya di lapangan terbang, ternyata pesawat yang akan menuju Medan sudah siap lepas landas. Tanpa pikir panjang, Likas yang saat itu berusia 41 tahun mengejar pesawat itu di landasan pacu sambil berteriak dan melambaikan tangan. Tak lama kemudian, seorang perwira yang mengenalinya membuka pintu pesawat dan segera turun.

Perwira itu menghampirinya dan memegang tangan Likas yang bergetar. Likas pun menyampaikan maksud untuk menitipkan surat kepada suaminya yang belum diketahui keberadaannya.

Tidak cukup hanya di situ, ia pun mencari tahu keberadaan suaminya dengan mendatangi rumah Burhanuddin Ali yang merupakan sekretaris Waperdam Soebandrio. Namun, Burhanuddin juga tidak ada sehingga istrinya yang menemuinya. "Saya tidak tahu keberadaan Mayjen Jamin Gintings. Sebaiknya ibu pulang saja karena situasinya genting di jalanan."

Tidak puas dengan jawaban itu, ia pun menemui Asisten III Mayjen Pranoto yang saat itu sudah diumumkan oleh Presiden Sukarno sebagai caretaker Menpangad. "Sapanjang yang saya tahu, Pak Jamin Gintings tidak mendapatkan bahaya, tetapi saya tidak tahu keberadaannya. Sebaiknya ibu kembali ke rumah saja, menunggu kabar dari Angkatan Darat," kata Pranoto.

Tidak puas dengan jawaban Mayjen Pranoto, Likas pun menelepon wakil suaminya, yakni Wakil Asisten Operasi Brigjen Muskita. "Pak Muskita, saya minta dikirimkan panser," kata Likas dengan lugas.

"Untuk apa, Bu?" tanya Muskita penuh keheranan.

"Saya mau ke rumah Bapak Soebandrio," jawab Likas.

"Ibu tahu Soebandrio itu, siapa?" balasnya.

"Saya tahu, beliau Waperdam, Menteri Luar Negeri," ucap Likas yang mulai tidak sabar.

"Ibu mau apa ke sana?" kata Muskita dengan nada khawatir.

"Saya mau menanyakan keberadaan suami saya. Ke mana ditaruhnya? Mohon bantuannya, kirimkan saya panser, jenderal," ucap Likas dengan nada membujuk.

"Pak Jamin Gintings, belum pulang saja. Ibu sabarlah."

"Justru itu yang akan saya tanyakan ke rumah Pak Soebandrio. Tolong siapkan panser supaya saya bisa ke sana, Pak Muskita."

Didesak terus, akhirnya Muskita mengatakan, "Nantilah, saya siapkan dulu."

Ternyata, yang dikirim ke rumah Jalan Sisingamangaraja Nomor 12 bukan panser, melainkan istri Brigjen Muskita. "Bu Muskita memberi pesan dari suaminya bahwa pansernya menyusul."

Berapa lama kemudian, tiba-tiba telepon rumah sudah bisa aktif kembali dan telepon pun berdering. "Dari suamiku! Puji Tuhan, suamiku selamat!" kata Likas menceritakan kegalauan saat peristiwa G-30 September 1965.

Dengan pengawalan ketat, akhirnya Jamin Gintings singgah sebentar di rumah menemui istri dan anak-anaknya.  Ia pun berangkat lagi dengan panser menuju MBAD dan jenderal yang selamat diberikan perlindungan khusus di Markas Kostrad di bawah kendali Mayjen Soeharto.

Likas menyadari kekeliruannya meminta dikirimkan panser. Sebuah permintaan yang tidak mungkin dikabulkan oleh MBAD, kecuali atas permintaan suaminya yang memegang kendali operasi MBAD. "Ya itu, karena saya panik," katanya mengenang.  

Sama seperti Letjen Ahmad Yani, Jamin Gintings pun dikenal sangat antikomunis. Contohnya pada Desember 1956, Letnan Kolonel Jamin Gintings sebagai Kepala Staf TT-I Bukit Barisan terpaksa mengambil alih komando Panglima TT-I Bukit Barisan, ketika MBAD memecat Kolonel Maludin Simbolon dalam peristiwa PRRI.

Saat itu, muncul dualisme kepemimpinan sebagai pengganti Simbolon. Selain Jamin, ada pula Letnan Kolonel Wahab Makmur, Komandan Resimen II yang bermarkas di Pematang Siantar. Wahab dikenal sebagai perwira yang berhaluan komunis.

Jika Wahab yang memegang kendali TT Bukit Barisan, wilayah Aceh, Sumatra Utara, dan Riau  diperkirakan akan jatuh ke tangan komunis. Apalagi, 27 perwira resimen tersebut mendesak Wahab mengambil alih posisi Panglima TT. Jamin pun mengambil alih lebih dahulu dan akhirnya dia yang disetujui KSAD Kolonel AH Nasution untuk menjadi Panglima TT.    

 

Penugasan dari menpangad Letjen Yani kepada suaminya,menurut Likas,justru menyelamatkan hidup Jamin Gintings.Apalagi, seperti jendral-jendral yang gugur,Jamin di kenalsebagai jendral antikomunis."Munkin pasukan penculik dan pembunuhs udah tahu suami saya tidak ada di Jakarta."

Setelah peristiwa G-30-A 1965Letjen Soehartopun memegang kendali MBADJamin pun menjadi Instruktur Jemdral Angkatan Darat(Irjenad)yang merupakan orang ketigadi MBAD setelah Menpangad Letjen Soeharto dan wakil Menpangad Mayjen Maraden Panggabean.Jamin menjadi Irjenad hingga 1968.

Ia pun ditugaskaryakan sebagai anggota DPR 1068-1972.Ketua Sekber Golkardan Ketua DHN 1945.Pangkatnya di naikan menjadi Letnan Jendralpada 1971.Jamin, pemilik Bintang Mahaputra RI,wafat di usia 53 dan masih menjadi militer aktif.Ia menutup usia akibat serangan jantung pada 23 Oktober1974 saat bertugas menjadi Duta Besar Luar Biasa RI untuk Kanada. 

sumber : Pusat Data Republika
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement