REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Sigit Pramono; Direktur Eksekutif RETaS Institute, Alumnus Program Doktor Ritsumeikan Asia Pacific University Jepang
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menggelar perhelatan penting Munas V pada 26-29 November di Bandung dengan mengusung tema “Bersama Melayani Rakyat”. Munas ini dipandang sebagai tonggak penting kiprah PKS dalam kancah dinamika politik nasional menuju 2024.
Munas ini tidak saja menandai estafet kepemimpinan kepengurusan PKS lima tahun mendatang. Lebih dari itu sejumlah terobosan politik sepertinya telah disiapkan PKS untuk membangun iklim demokrasi yang lebih baik dan menembus kebekuan wacana politik Islam dan kenegaraan akhir-akhir ini.
Tidak berlebihan bila sejumlah pengamat politik berpandangan bahwa kelahiran PKS pada awal era Reformasi merupakan babak penting hadirnya politik Islam pasca Orde Baru sekaligus diyakini menjadi ijtihad politik yang sangat berpengaruh dalam kehidupan politik Islam setelah berdirinya Partai Masyumi pada 1945 (Hasyim, 2013; Fealy, 2005).
Pada Pemilu 2019, PKS mencuri perhatian dan membuat kejutan dengan menjadi kuda hitam dalam quick count hasil pemilu sebagai partai politik yang memperoleh pertumbuhan pemilih tertinggi. Capaian ini diyakini antara lain sebagai hasil kampanye politik gagasan yang efektif dan konsistensi PKS melakukan agregasi kepentingan publik dalam perjuangan politiknya (Prihatini, 2019).
Platform negara kesejahteraan
Ada yang menarik untuk kita telisik tentang gagasan yang ditawarkan PKS dalam lanskap perjuangan partai politik. Bila kita menelaah Falsafah Dasar Perjuangan dan Platform Kebijakan Pembangunan PKS (2009), cita-cita luhur mewujudkan negara kesejahteraan pun menjadi satu isu penting yang termuat dalam dokumen tersebut.
Sebagai misal, pemikiran tentang egalitarian economics digagas saat membincang isu-isu pembangunan dan ekonomi bangsa. Terminologi ini mungkin dapat disejajarkan dengan ide ‘ekonomi gotong-royong’ Bung Hatta ataupun ideologi sosial demokrat yang berkembang di negara-negara Eropa Barat tempat lahirnya model negara kesejahteraan (welfare state) modern.
Di sini kita mencatat platform politik PKS berupaya menemukan relevansinya dalam konstelasi gagasan-gagasan besar kenegaraan dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air. Pengalaman sejumlah negara yang menganut asas welfare state menunjukkan bahwa keberhasilan konsep negara kesejahteraan memiliki prasyarat, yaitu adanya dukungan basis politik yang kuat dalam proses pengambilan kebijakan publik, basis birokrasi pemerintah yang efektif, serta basis manajemen makroekonomi yang efisien (Triwibowo dan Bahagijo, 2002).
Tentu saja PKS memiliki pekerjaan rumah untuk merealisasikan model negara kesejahteraan berdasarkan konstitusi negara khususnya pasal 23, 27, 28, 31, 33, dan 34 UUD 1945. Sejatinya, PKS dapat menjadi pelopor menegakkan ekonomi konstitusi dalam kebijakan pembangunan nasional guna memerangi oligarki politik dan ekonomi yang melahirkan kesenjangan ekonomi yang amat memprihatinkan.
Arus bawah negara kesejahteraan
PKS diakui memiliki tradisi panjang dalam aksi pemberdayaan masyarakat madani (civil society) dan memiliki iron stock kepemimpinan sosial yang mumpuni. Saatnya, PKS melakukan tranformasi potensi strategis ini menjadi gagasan dan gerakan yang utuh dalam skala negara.
Karenanya, PKS amat berpeluang memperkuat positioning-nya dengan mengusung konsep negara kesejahteraan dan penguatan masyarakat madani melalui dua jalur sekaligus. Di sini kita dapat bersepakat menjadikan parpol sebagai bagian tak terpisahkan dari gerakan masyarakat madani yang berdaya.
Merujuk kepada Duncan Green dalam bukunya From Poverty to Power (2012), kita mencitakan lahirnya tatanan kehidupan sosial baru dalam wujud ekosistem masyarakat madani bercirikan warga-berdaya (active citizens) dan pemerintahan yang efektif (effective state) dalam proses pembangunan-bangsa (nation-building) secara inklusif.
Secara elegan, PKS dapat memperkuat sinergi elemen masyarakat madani dalam mewujudkan masyarakat kesejahteraan (welfare society). Di sini, masyarakat kesejahteraan merupakan konsep kembar dari negara kesejahteraan yang dimaksudkan sebagai inisiatif komunitas lokal khususnya gerakan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan perkumpulan perempuan untuk bahu membahu dalam mewujudkan kesejahteraan di tingkat warga dalam bentuk program edukasi publik, pengembangan komunitas maupun keuangan mikro (Subono, 2002).
Tentu hanya partai politik yang mampu berkomunikasi dan bekerja secara tulus dengan konstituen akan menjadi ’sayap politik’ yang lekat dalam aspirasi masyarakat. Kisah sukses mewujudkan masyarakat kesejahteraan ini, antara lain, ditunjukkaan oleh partai Liberal Democratic Party (LDP) di Jepang dengan memperkuat institusi keluarga dan keswadayaan masyarakat.
Majelis demokrasi dan keumatan
Namun demikian, ada prasyarat penting yang harus diperankan PKS dalam kaitannya dengan proses konsolidasi demokrasi. PKS harus konsisten mendorong lahirnya politik gagasan dan menghilangkan praktik demokrasi prosedural yang pada akhirnya akan menyebabkan munculnya arus balik reformasi dan mendistorsi tujuan reformasi kita.
Dengan kata lain, partai politik sepatutnya menjadi mesin demokrasi yang andal karena kinerjanya mesti berbanding lurus dengan kemampuannya melakukan agregasi kepentingan publik dan mewujudkan aspirasi konstituen yang suaranya terwakili melalui proses pemilu yang jujur dan adil.
Konsekuensinya, kita harus mampu mereposisi pentas politik menjadi ajang penciptaan ‘politik atas komoditas bersama’ (politics of common goods) secara kompetitif. Di sini politik menjadi media bertemunya sejumlah agenda ideologi dan kepentingan kelompok masyarakat, tapi dengan satu muara yang sama, yaitu konsisten mewujudkan kemaslahatan masyarakat secara substansial (Hewett dan Roche, 2013).
Ini bermakna pula bahwa partai politik sebagai arus utama proses politik dan demokratisasi harus meninggalkan comfort zone-nya dan tidak lagi menggunakan perspektif elitis yang selalu tergoda untuk memuaskan syahwat kekuasaannya. Kita harus bergegas meninggalkan tradisi usang partai politik berupa politik uang, aksi pencitraan, politik dinasti dan praktik politik-transaksional lainnya.
Partai politik harus turun gelanggang secara jujur membangun basis politik yang kukuh dan melakukan perubahan bersama masyarakat di akar rumput. Para politisi haruslah lahir dari tradisi kepemimpinan sosial yang kuat, teruji dalam memberikan dedikasi kepada kepentingan bangsa dan negara, serta memiliki keteladanan moral yang paripurna.
Di titik ini, PKS dapat menjadi pelopor untuk merealisasikan maqashid syari’ah dalam kehidupan politik bangsa dengan melakukan objektifikasi nilai-nilai syariah dalam bingkai konstitusi dan tujuan kehidupan bernegara. Dalam konteks inilah, kita dapat bersepakat bahwa perwujudan kesejahteraan rakyat menjadi common platform sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Qayyim al-Jawziyyah dalam kitabnya I’lam al-Muwaqqi’in: “…Kesejahteraan masyarakat akan terwujud dalam keadilan, kasih sayang, kebahagiaan, dan kebijaksanaan. Apapun yang mengubah keadilan menjadi penindasan, belas kasihan menjadi kekerasan, kesejahteraan menjadi kesengsaraan, dan kebijaksanaan menjadi kedunguan, tidak ada urusannya dengan makna syariah itu sendiri…”.
Cita perjuangan politik Islam yang inklusif dan substantif ini, setidaknya menemukan artikulasinya pada saat Munas V PKS. Kita menggarisbawahi bahwa visi yang dinyatakan dalam jati diri PKS adalah "Menjadi Partai Islam yang rahmatan lil'alamin yang kukuh dan terdepan dalam melayani rakyat dan Negara Kesatuan Republik Indonesia".
Akhirnya, sejalan dengan fatsun berpolitik PKS yang bercermin dari kaidah ”sayyidul qaum khadimuhum” (pemimpin suatu kaum adalah pelayan bagi kaumnya), semoga dengan Munas V ini PKS dapat terus konsisten menyemai sukma keadilan dan kesejahteraan bagi bangsa ini sekaligus menjadi gerakan politik yang teguh mengawal konsolidasi demokrasi di Tanah Air. Wallahu a’lam bishawab.
*RETaS (Research on Economics, Technology, and Strategic Studies) Institute