Senin 31 May 2021 06:50 WIB

Studi: Vaksinasi tak Jamin Terhindar dari Varian Covid-19

Banyak dari mereka yang sudah vaksinasi terpapar varian baru Covid-19.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Banyak dari mereka yang sudah vaksinasi terpapar varian baru Covid-19.
Foto: Pixabay
Banyak dari mereka yang sudah vaksinasi terpapar varian baru Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Vaksin Covid-19 bukan jaminan terhindar dari penularan virus. Meski risikonya kecil, kejadian tertular Covid-19 pasca vaksinasi atau "breakthrough infection" tercatat cukup tinggi.

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) menemukan, per 30 April tercatat ada 1.155 dari 101 juta orang yang divaksinasi penuh di AS yang terjangkit kasus Covid-19 parah atau fatal. Menariknya, rerata kasus "breakthrough infection" disebabkan oleh varian baru Covid-19.

Baca Juga

Menurut CDC, varian baru Covid-19 dari Inggris yakni B.1.1.7 menjadi penyebab tertinggi kasus "breakthrough infection" dengan 65 persen. Setelah itu, ada varian California B.1.429 (25 persen); varian California lainnya B.1.427 (8 persen); varian Brazil P.1 (8 persen); dan varian Afrika Selatan B.1.351 (4 persen).

Studi baru lainnya dari University of Washington (UW) Medicine juga menemukan bahwa B.1.1.7. adalah varian baru Covid-19 yang berada di belakang sebagian besar kasus "breakthrough infection".

Penelitian yang belum ditinjau oleh sejawat tetapi diposting di medRxiv itu melibatkan 20 petugas kesehatan dalam sistem rumah sakit UW Medicine yang akhirnya terinfeksi COVID setelah vaksinasi antara Februari dan April 2021. Dari kasus-kasus ini, 40 persen disebabkan oleh varian Inggris B.1.1.7.

Lalu, 40 persen kasus lainnya disebabkan oleh varian California B.1.429, 10 persen disebabkan varian California lainnnya B.1.427, 5 persen kasus disebabkan masing-masing disebabkan oleh varian Afrika Selatan dan varian Brazil.

Penulis studi Pavitra Roychoudhury menjelaskan, varian yang menjadi perhatian (VOC) adalah strain yang menunjukkan bukti peningkatan penularan, penyakit yang lebih parah, penurunan netralisasi oleh antibodi yang ditimbulkan oleh infeksi atau vaksinasi di masa lalu, penurunan kemanjuran pengobatan, atau kegagalan dalam deteksi diagnostik.

"Infeksi ini dapat menyebabkan penyebaran varian yang mengkhawatirkan, terutama di daerah dengan tingkat vaksinasi rendah," jelas Roychoudhury seperti dilansir dari laman Best Life, Ahad (30/5).

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement