Rabu 15 Sep 2021 15:58 WIB

Tragedi Penggusuran yang Terus Berlanjut

Tragedi penggusuran ternyata bisa lestari di bumi Indonesia.

Red: Muhammad Subarkah
Seorang warga menangis saat eksekusi lahan (ilustrasi).
Foto: Antara/Fauzan
Seorang warga menangis saat eksekusi lahan (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Jaya Suprana, Budayawan, Penggagas Rekor MURI, Pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan.

Naga-naganya nafsu menggusur sudah mendarah daging di dalam jiwa raga kaum penggusur, maka tragedi penggusuran lestari berlanjut di bumi Indonesia.

Setelah pagebluk corona mulai mereda sehingga PPKM diperlunak, mendadak terberitakan bahwa tidak kurang dari 90 kepala keluarga di sebuah kawasan permukiman di Jawa Barat terancam akan digusur oleh sebuah perusahaan lahan yasan.

Pihak tergusur maupun penggusur sama-sama memiliki keyakinan bahwa diri mereka masing-masing adalah yang benar.

TANAH

Tanpa berani melibatkan diri ke dalam peristiwa penggusuran itu, saya teringat kepada sebuah peristiwa. Ini terjadi pada saat saya ingin mendirikan sebuah asrama yatim piatu di atas sebidang tanah bersertifikat hak milik yang diwariskan oleh almarhumah Ibunda tercinta.

Tanah saya di kawasan cukup elite di Kota Semarang bagian atas. Ternyata di atas tanah warisan almarhumah Ibunda telah dibangun sebuah tempat berteduh oleh sesama warga  yang juga bercocok tanam di atas tanah hak milik atas nama ibu saya.

Karena berupaya mematuhi sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab maupun Keadilan Sosial Untuk Seluruh Rakyat Indonesia, maka saya bermusyawarah dengan sesama warga Indonesia yang bermukim di atas lahan milik ibunda saya.

Dalam bermusyawarah, saya menanyakan berapa besar biaya ganti tugi yang dikehendaki oleh sesama warga Indonesia yang bermukim dan bercocok tanam di atas lahan milik ibunda saya. 

BODOH

Meski penasihat hukum saya menyatakan bahwa langkah saya bodoh akibat secara hukum saya adalah pemilik tanah tersebut, saya memang siap bodoh karena memang ingin meletakkan kemanusiaan di atas hukum.

Setelah pihak yang bermukim dan bercocok tanam di atas lahan hak milik atas nama almarhumah Ibunda menyebutkan dana ganti rugi, langsung saya membayar yang diinginkan pihak yang bermukim di atas tanah hak milik keluarga saya itu.

Sebenarnya jika menggunakan hukum, apalagi didukung oleh aparat penegak hukum, sebagai pemegang surat hak milik pasti saya memenangkan perkara hukum melawan sesama warga yang bermukim di atas tanah hak milik keluarga saya.

Namun, nurani kemanusiaan saya memustahilkan saya berperilaku yang kurang sesuai dengan Pancasila tersebut. 

KESIMPULAN

Berdasar peristiwa di Semarang tersebut, dapat disimpulkan (kalau mau) bahwa pada hakikatnya masalah ganti rugi bagi rakyat tergusur sepenuhnya tergantung kepada keikhlasan pihak penggusur. Setahu saya masih belum ada undang-undang yang melarang pemberian ganti rugi kepada rakyat tergusur.

Masalah ganti rugi bagi rakyat tergusur memang termasuk kategori terserah dilakukan secara kalau mau pasti mampu. Jika tidak mampu lazimnya akibat tidak mau. Maka apabila saya saja mampu, pasti para pengusaha lahan yasan apalagi pemerintah lebih mampu. Kalau mau. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement