Oleh : Dwi Murdaningsih, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Awal pekan ini, foto-foto stasiun Manggarai yang telah dibangun kembali ramai dibagikan di media sosial. Warganet ramai memuji wajah baru Stasiun Manggarai: wah, kaya di Jepang! Kaya di Korea. Saya pun tertegun: Wah, Stasiun Manggarai jadi bagus banget!
Melihat wajah baru stasiun itu, saya seolah memanggil kembali memori-memori lama soal stasiun ini. Yang saya maksud lama adalah waktu sekira dua tahun lalu, di saat pandemi belum datang dan segala sesuatunya masih normal.
Kalau sedang jam sibuk, atau jam pulang kantor, berada di stasiun ini rasanya sungguh campur aduk. Crowded, sumpek pek. Ini cerita pengalaman saya. Mungkin banyak juga yang mengalami hal ini.
Kalau pulang kantor, saya adalah pengguna KRL Bogor-Bekasi yang sudah pasti harus transit di Manggarai. Yang paling jelas teringat adalah perjuangan berpindah dari peron 5 menuju peron 4 atau 2 di Stasiun Manggarai (stasiun versi lama ya maksudnya).
Saya pulang kerja dari arah Pasar Minggu tujuan Bekasi. Kereta dari pasar Minggu kadang masuk di jalur 5. Kalau sedang mujur, kereta akan berhenti di jalur 3. Kalau transit di jalur 3, Saya hanya perlu berbalik badan untuk selanjutnya naik di jalur 4 tujuan Bekasi atau balik badan menuju jalur 2. Tak perlu berlari berpindah peron.
Kalau sedang tidak mujur, kereta berhenti di jalur 5 dan kereta arah Bekasi sudah ngetem di jalur 4. Saya harus berlari secepat mungkin untuk berpindah ke jalur 4. Caranya turun lewat underpass lalu naik lagi ke jalur 4. Terdengar sederhana ya? Tapi kenyataannya tidak semudah itu. Mau turun harus 'balapan' dengan penumpang lain, mau naik juga harus balapan dengan menumpang lain.
Kalau kereta di jalur 4 belum tiba, bisa sedikit lebih santai. Tinggal menyebrang peron seperti biasa. Ini juga dengan catatan jalur 4 tidak sedang digunakan oleh kereta jarak jauh untuk melintas.
Soal berlari ini harus dilakukan dengan sekuat tenaga. Sebab, kalau ketinggalan kadang saya harus menunggu sekitar 20 menit untuk bisa naik kereta berikutnya. Itu juga kalau bisa langsung naik.
Kadang, kereta terlalu penuh jadi terpaksa tidak bisa masuk dan harus menunggu kereta berikutnya lagi. Alhasil, kadang transit di Stasiun Manggarai adalah tempat yang cukup menguras energi. Bukan hanya energi untuk berlari tapi energi yang dikeluarkan untuk ngomel-ngomel kalau kereta kepenuhan, susah masuk atau ketinggalan kereta. Pahit rasanya!
Ini baru soal teknis KRL ya, belum lagi kalau ada antrean kereta atau gangguan sinyal atau kereta jarak jauh yang melintas sehingga menambah lama waktu tunggu.
Sekarang, stasiun Manggarai telah memiliki wajah baru. Ada beberapa jalur baru yang telah ditambah. Yang cukup menarik adalah fasilitas lift dan eskalator. Jadi tidak harus naik tangga. Fasilitas lift dan eskalator ini memang sudah ada lebih dulu di stasiun-stasiun lain. Akhirnya, Manggarai juga punya.
Stasiun sudah bagus, lalu apa lagi? Sebagai pengguna kereta tentu penulis juga berharap ketepatan waktu KRL lebih dijaga dan penambahan rangkaian di jam-jam sibuk sehingga KRL tidak begitu penuh. Kalaupun penuh, minimal penumpang masih bisa bernapas lega dan tidak menjadi 'ikan pepes' di dalam KRL.
Saya yakin, jika fasilitas yang ada semakin nyaman dan rangkaian semakin banyak nantinya akan lebih banyak orang yang beralih dengan moda transportasi KRL. Dengan begitu, kemacetan di jalan bisa dikurangi, polusi bisa dikurangi, stres di jalan bisa dikurangi dan pengguna kereta bisa memiliki kesehatan mental yang lebih sejahtera.