REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Tim pengabdian masyarakat (Abdimas) Fakultas Industri Kreatif (FIK) Telkom University bersiap menjadikan Desa Rancakalong, Kabupaten Sumedang sebagai kawasan Kampung Kreatif Sumedang.
Menurut Ketua Abdimas FIK Telkom University Hendi Anwar, kesiapan dilakukan dalam rangka program "Skema Bantuan Pendanaan Program Penelitian Kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka Dan Pengabdian Masyarakat Berbasis Hasil Penelitian dan Purwarupa PTS."
"Kami membuat program berjudul 'Perancangan Kawasan Kampung Kreatif Sumedang Berbasis Budaya Untuk Memperkuat Positioning Statement Kabupaten Sumedang sebagai Puser Budaya Sunda'," ujar Hendi di Bandung, Sabtu (25/12).
Selain Hendi, tim beranggotakan dosen FIK lainnya yakni Ganesha Puspa Nabila Aisyi Syafikarani, Kiki Putri Amelia, dan Santi Salayanti. Mereka dibantu mahasiswa-i yakni Terinza, M Fahmi Fakhruzzaman, Ahmad Zaki, dan Sherly Anggraini.
Hendi mengatakan, latar belakang timnya memilih Sumedang, karena dikenal dengan budaya dan tradisinya yang masih terjaga hingga sekarang. Oleh sebab itu, Sumedang menjadikan “Puseur Budaya Sunda” (SPBS) sebagai positioning statement dan telah dijadikan landasan keseluruhan aktivitas di Kabupaten Sumedang.
Positioning statement tersebut disahkan dalam bentuk peraturan daerah yaitu Perda No 1 Tahun 2020 Tentang Kabupaten Sumedang sebagai “Puseur Budaya Sunda”. Begitu juga dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu Undang Undang No 5 Tahun 2017 tentang perlindungan Budaya.
Menurutnya, berdasarkan pada hasil analisis survey lokasi yang telah dilakukan terhadap beberapa daerah di Kabupaten Sumedang, terdapat satu desa yang memiliki potensi lebih untuk dikembangkan yaitu Desa Rancakalong.
"Desa Rancakalong merupakan desa dengan kekayaan budaya dan tradisi yang masih hidup, beberapa jenis kesenian tradisional Sunda masih terpelihara yakni Wayang, Calung, Kuda Renggong, Kecapi Suling, Seni Beluk dan Tarawangsa," katanya.
Tim tersebut, kata dia, sudah berhasil merancang pengembangan konsep desa wisata dengan menjadikan beberapa aspek desain yang sesuai kebutuhan fisik maupun sosial dari lokasi itu sendiri. Desa Rancakalong yang setiap tahunnya membuka pintu untuk upacara adat dan pentas seni Tarawangsa, memerlukan sebuah area penyambutan tamu sekaligus diajukan sebagai placemaking. Untuk mewujudkan hal tersebut, salah satunya yaitu melalui pembangunan infrastruktur yang berbasis Budaya Sunda.
Identitas Desa Rancakalong sebagai desa wisata dan Kabupaten Sumedang sebagai Puseur Budaya Sunda dapat dipertegas dengan pengadaan dan perancangan Kawasan Hijau yang menekankan pada kebutuhan pernyataan identitas wilayah tersebut.
Adapun rancangan desain dari Abdimas FIK, kata Hendi, antara lain mendesain salah satu placemaking di desa wisata Rancakalong. Desain kawasan hijau ini terbagi ke dalam tiga section. Section A yang merupakan area pintu masuk dan dan area kesenian terletak di sebelah kanan kawasan. Section B adalah area hijau, sedangkan Section C adalah area panggung dengan ramp.
Struktur bangunan pada kawasan ini, kata dia, tidak lebih dari satu per tiga dari area hijau. Area terbuka diusulkan agar segala kegiatan yang biasa dilaksanakan di area ini tetap dapat terakomodasi dengan baik. Selain itu, dilihat pula dari kawasan sekitar yang merupakan area sawah dengan pemandangan yang sangat indah, maka kawasan dengan desain terbuka seperti ini dianggap paling tepat.
Setelah konsep desain yang dicanangkan untuk pintu masuk tersebut matang, kata dia, beberapa referensi bentuk diambil dan digunakan untuk pembuatan rancangan bentuk gate. Salah satunya adalah gate karya Gijs Van Vaerenbergh yang berlokasi di Belgia. Bentuk desain gate yang sederhana ini dipilih untuk merangkai keindahan alam desa Rancakalong.
"Dengan adanya intervensi desain pada objek perancangan pada kegiatan pengabdian ini, identitas dari masyarakat setempat serta desa wisata Rancakalong dan secara keseluruhan menjadi positioning statement dari Kabupaten Sumedang sebagai Puseur Budaya Sunda seperti yang dicanangkan," paparnya.
Melalui kegiatan pengabdian ini, kata Hendi, FIK turut serta dalam aplikasi dari pariwisata pentahelix yang dimana akademisi memiliki peran penting untuk membuat dan menguji model bisnis dari pariwisata.
Selain itu, kata dia, dengan adanya kerja sama dan kesediaan desa wisata untuk membukakan pintu kepada pihak akademisi menjadikan kegiatan ini sebagai salah satu objek penelitian, maka terbukalah peluang baru di dunia akademik untuk lebih dalam meneliti kebudayaan Sunda dan implementasinya pada masyarakat luas.