Jumat 21 Jan 2022 07:26 WIB

Bumi Manusia Nusantara City: Dari Jallaludin Rumi, Khalil Gibran, dan Annemarie Schimmel

Nusantara City terlalu mewah buat dipersoalkan, apalagi diperdebatkan

Red: Muhammad Subarkah
Presiden Joko Widodo meninjau lokasi rencana ibu kota baru di Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Selasa (17/12/2019).
Foto:

Berapi, tapi tak bersumbu. 

Entah bagaimana, saya membingkai persoalan Nusantara City, sebuah kota yang dirancang arsitektur berbasis 5G, bukan pensil seorang mahasiswa yang bermenung tentang bukan hanya keindahan, tetapi sekaligus pembebasan, dan saling sangga dengan manusia, hewan, dan tumbuhan. 

Arsitektur yang bernafas alam, seperti sarang-sarang semut ataupun lebah. Ayah, melarang saya untuk pipis, menaruh asap, atau sekadar mengubah gundukan dari sarang-sarang mahkuk ajaib kecil-kecil itu. Dosa semesta bakal dicatat malaikat, ketika saya melakukan itu, kata ayah. 

Sungguh ajaib, kitab-kitab suci malahan memuat soal-soal kecil itu, ketimbang yang besar. Yang besar, seperti kota-kota, malah dihancurkan secepat kilat. Sodom dan Gomorah tak bercerita nasib seekor elang dan camar, tapi langsung pada ketuk palu berupa hukuman atas kedurhakaan. Agnotisme Nietzsche malah lebih satire, membawa lentera ke pasar-pasar malam, lantas tak menemukan Tuhan di lorong manapun. 

Yang paling banyak memuat dusta justru sesuatu yang bernama negara nasional, bahkan dalam bentuk imperium seperti Romawi. Seekor burung sebagai lambang utama, beranak-pinak ke banyak negara lain dengan beragam sebutan. Tak mengenal agama mayoritas apa yang dianut, disebut garuda atau perkutut. Patung dan para pematung yang dihantam kapak sejak zaman Nabi Ibrahim, makin menemukan keunggulan di negara-negara yang menyatakan paling berketuhanan. 

Nusantara City adalah sebuah sarang baru, bagi sekumpulan mahkluk yang bukan hewan. Sanskerta dan Britania bahkan bersatu sejak dalam pemberian nama. Walau disebut punya jejak penelitian sejak 2017 dari Taman (Untung) Surapati, nasib tak membawa kepada bentuk paling dahsyat sepuluh tahun sebelum proklamasi: Polemik Kebudayaan. Soetan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Poerbatjaraka, hingga kumpulan sajak “Tiga Menguak Takdir” tak sekadar kepompong persahabatan yang menjadi kupu-kupu lebih dari delapan dekade kemudian.   

Nusantara City adalah jahitan dari masa lalu, kini, pun imajinasi tentang masa depan. Nusantara City adalah perkawinan antara kebudayaan dan peradaban. Walau saya tentu tak tahu, apakah lebih dari 1.000 bahasa bakal ikut menghuninya. Termasuk, sekitar 500 lebih dokumen perjanjian yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda yang melakukan kolonialisme secara administratif dengan sekitar 500 negara independen. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement