Jumat 21 Jan 2022 07:26 WIB

Bumi Manusia Nusantara City: Dari Jallaludin Rumi, Khalil Gibran, dan Annemarie Schimmel

Nusantara City terlalu mewah buat dipersoalkan, apalagi diperdebatkan

Red: Muhammad Subarkah
Presiden Joko Widodo meninjau lokasi rencana ibu kota baru di Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Selasa (17/12/2019).
Foto:

Sebagai Nusantara City, saya bayangkan bakal ada jejak tapak dari Tome Pires di setiap negeri yang ia singgahi. Termasuk ketika sampai di Kota Pariaman pada tahun 1513. Berikutnya, bendi yang dipakai oleh Karl May ketika singgah bermalam di Kota Padang, pada akhir abad ke-19. Seluruh karya Karl May saya koleksi, dalam setiap karya terdapat tiga buku. Dan hanya dalam “Dan Damai di Bumi”, Karl May tak menggunakan imajinasinya. Ia menggunakan catatan harian. 

Nusantara City, dalam bentuk masa lalu, bagi saya adalah dokumen-dokumen tertulis yang sudah mengalami kritik sumber. Sebagai Sekretaris Jenderal Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah se-Indonesia 1995-1997, Sekjen Pertama dalam organisasi berhimpun lebih dari 200 perguruan tinggi yang memiliki jurusan ilmu sejarah dan pendidikan sejarah, tentu saya tahu persis kedudukan dokumen tertulis dalam penulisan sejarah. 

Arsitektur dalam bentuk dokumen itu, di sebuah ibukota negara baru, jauh lebih kuat dari selaksa pasukan dan skuadron pesawat nir awak. Dokumen-dokumen yang diberikan titik tebal dan garis merah, bakal mengajak bangsa ini berpikir keras. Kalau yang berada di dalam area Nusantara City adalah arsitektur yang dimenangkan dalam sebuah kompetisi, saya khawatir bakal bernasib serupa dengan seluruh bangunan hebat lain, dari banguan keagamaan, jembatan, hingga monumen nasional dan patung-patung yang berada di Jakarta. Akan ada satu titik ketika orang-orang bertanya, lalu menyatakan bahwa mereka atau nenek yang memoyangi mereka tak dianggap ada ketika pemenang diumumkan, dan proyek dijalankan. 

Itu baru dari satu sisi, masa lalu yang hanyut ke masa kini. Seperti tadi, menaruh satu puisi atau sajak Kahlil Gibran yang dibuat dalam bentuk bangunan besar, lalu dihadapkan dengan satu puisi Rumi. Kertas-kertas berisi aksara dari dua orang hebat, dalam bingkai raksasa. 

Tetapi, Nusantara City, bagai sarang hantu. Yang hadir bebas dikawal pandemi. 

Bagi para gerilyawan, Nusantara City terlalu mewah buat dipersoalkan, apalagi diperdebatkan. Sejengkal saja melangkah dari pintu rumah, selusin persoalan hadir di kepagian. Dan terus bertambah, hingga terbit matahari. 

Pilihan bambu runcing, kawat berduri, atau topi ijuk, sebagai uniform perjuangan, jauh lebih penting ketimbang ikut bermewah-mewah dengan helat Nusantara City itu. 

Walau, Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara tercatat lebih dulu dalam lembaran negara, baik dalam akte naotaris, ataupun dokumen Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Silakan saja, tak hendak kami perkarakan sebutan itu. 

 

Jakarta, 21 Januari 2022

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement