REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dalam beberapa tahun terakhir memfasilitasi merger sejumlah perguruan tinggi swasta (PTS) kecil agar dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi yang berkualitas. Setidaknya, sudah ada 600 PTS kecil yang telah melakukan merger.
"Diktiristek dalam empat sampai lima tahun terakhir ini terus mengakselerasi merger PTS-PTS kecil," kata Plt Dirjen Pendidikan Tinggi Riset dan Teknologi (Diktiristek) Kemendikbudristek, Nizam di Gedung Kemendikbudristek, Jakarta, Senin (23/05/2022).
Menurut Nizam, dalam kurun dua tahun terakhir sudah ada 600 PTS kecil yang melakukan merger menjadi 380 PTS. Dia menjelaskan, ukuran menjadi salah satu indikator kualitas PTS. Ketika PTS itu besar, maka PTS tersebut akan lebih mampu menjaga kualitas karena dari sisi sumber daya akan lebih mencukupi dalam mengembangkan mutu mereka.
"Untuk itu kita mendorong PTS-PTS yang kecil, yang resource-nya terbatas, itu bergabung. Supaya menjadi PTS besar dan menyelenggarakan pendidikan tinggi yang berkualitas," kata dia.
Pihak Kemendikbudristek, dalam hal ini Ditjen Diktiristek, tidak hanya mendorong PTS kecil untuk merger saja, tetapi juga memberikan stimulus berupa insentif agar mereka dapat lekas melakukannya. Insentif itu diberikan dalam bentuk bantuan fasilitas administrasi, kesekretariatan, hingga melakukan fasilitas rapat bagi PTS
"Jadi dalam bentuk insentif program yang nilainya per PTS Rp 100 juta. Kalau dua, tiga PTS (merger) bisa sampai Rp 300 juta untuk mengakselerasi itu," kata Nizam.
Tahun ini, Nizam mengatakan, pihaknya menargetkan 700 PTS kecil yang melakukan merger. Namun, pelaksanaan merger bukan hal yang mudah. Terdapat sejumlah kendala yang harus dihadapi, salah satunya terkait aspek administrasi kelembagaan dan keabsahan lembaga.
"Kemudian aset-aset yang bermasalah. Misalnya suatu PTS kecil ternyata asetnya sedang 'disekolahkan'. Ini untuk merger kan jadi susah. Masih diagunkan dan sebagainya. Nah hal-hal itu yang biasa menjadi kendala," jelas dia.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Kelembagaan Ditjen Diktiristek Kemendikbudristek, Lukman menekankan, proses merger bukanlah proses jual beli pendidikan tinggi. Dia melihat adanya kesalahan cara pandang di lapangan yang menganggap proses merger adalah jual beli pendidikan tinggi.
"Ini yang banyak terjadi di lapangan adalah ketika ada merger, 'oh ini ada kesempatan, peluang' sehingga satu perguruan tinggi bisa berharga Rp 1-2 miliar. Padahal, konteksnya di sini adalah merger itu kalaupun juga ada harganya adalah valuasi," kata dia.
Dia melihat adanya perguruan tinggi yang hanya mempunyai selembar izin, tidak beraktivitas, dan sudah tidak sehat, kemudian diperjualbelikan. Melihal hal tersebut, Lukman mengingatkan, Kemendikbudristek mempunyai regulasi yang bisa mencabut izin operasional perguruan tinggi yang sudah tidak aktif melakukan aktivitasnya.
"Kami menekankan merger di sini tidak ada jual-beli perguruan tinggi. Tidak ada jual beli izin. Izin itu bahkan kami sendiri punya regulasi kalau memang sudah tidak aktif lagi ya kami akan cabut izin operasionalnya," jelas Lukman.