REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Banyak orang tahu berjalan-jalan di alam bebas punya efek baik bagi tubuh dan membuat rileks. Melengkapi itu, studi baru dari para peneliti di Max Planck Institute for Human Development mengungkap relasi sebab-akibat aktivitas tersebut dengan penurunan stres.
Penulis utama studi, Sonja Sudimac, mengatakan bahwa berbagai studi yang sudah ada tidak benar-benar menyorotinya. Selama ini, belum jelas apakah lingkungan perkotaan yang menyebabkan seseorang stres atau apakah paparan lingkungan alam yang berdampak mengurangi stres.
"Sejauh ini masalah "ayam dan telur" tidak bisa diurai, yaitu apakah alam benar-benar menyebabkan efek pada otak atau apakah individu tertentu memilih untuk tinggal di daerah pedesaan atau perkotaan," kata Sudimac, dikutip dari laman New Atlas, Rabu (14/9/2022).
Karena itu, dia dan tim peneliti merancang eksperimen unik guna mengetahui apakah menghabiskan waktu di alam bebas dapat secara langsung mengurangi respons stres. Sekitar 60 sukarelawan direkrut untuk penelitian ini. Kondisi mereka juga dicek lewat laboratorium.
Para peserta studi menjalani pemindaian MRI untuk mengetahui aktivitas di area otak yang bertanggung jawab untuk memproses stres, amigdala. Tidak hanya itu, semua peserta juga diminta menelakoni beberapa tes yang mengukur respons stres.
Pemindaian yang diterapkan berguna untuk menetapkan pengukuran dasar. Setelah itu, semua subjek secara acak diminta berjalan kaki di kota selama 60 menit atau berjalan di hutan selama 60 menit. Rute perkotaan melalui sepanjang jalan yang sibuk di Berlin, Jerman.
Sedangkan, rute alam bebas melalui hutan terdekat dan area hijau terbesar di kota. Setelah menyelesaikan perjalanan selama satu jam, para peserta kembali ke laboratorium dan mengulangi tes pencitraan MRI yang sama. Dari semua tes, peserta di kelompok alam bebas menunjukkan penurunan aktivitas di amigdala.
Mereka yang berjalan di rute perkotaan tidak menunjukkan perubahan aktivitas amigdala. Ini berarti paparan perkotaan tidak serta-merta meningkatkan respons stres seseorang, tetapi menghabiskan waktu di alam bebas terbukti dapat meredam aktivitas saraf itu.
Hasil studi tersebut sudah diterbitkan di jurmal Molecular Psychiatry. Temuan baru itu mendukung penelitian sebelumnya yang menunjukkan kesehatan otak dapat dikaitkan dengan kedekatan seseorang dengan area hijau.
Seseorang yang tinggal lebih dekat dengan area hijau dan hutan kota diketahui memiliki struktur amigdala yang lebih sehat secara fisiologis. Itu jika dibandingkan dengan orang yang tinggal di kota tanpa akses dekat ke ruang hijau.
Simone Kühn, dari Lise Meitner Group for Environmental Neuroscience, mengerjakan dua studi tersebut. Dia berpendapat perencana tata kota harus memasukkan ruang hijau ke dalam desain kota untuk menjaga kesehatan dan kesejahteraan mental.
Kühn mengatakan temuan terbaru dengan jelas menunjukkan bagaimana waktu singkat yang dihabiskan di alam dapat secara langsung mengurangi aktivitas stres di otak. Studi sudah membuktikan asumsi bahwa ada hubungan positif antara alam dan kesehatan otak.
"Menariknya, aktivitas otak setelah jalan-jalan di wilayah perkotaan juga menunjukkan aktivitas otak di area itu tetap stabil tanpa peningkatan, yang bertentangan dengan pandangan umum bahwa paparan perkotaan menyebabkan stres tambahan," ucap Kühn.