REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Yuswardi A Suud, Wartawan, Peminat Isu Ekonomi Politik
"Jika kamu ingin menilai seseorang, lihatlah filosofi hidupnya. Dari sana, kamu akan tahu sosok seperti apa orang itu," begitu kata Jim Rhon, miliarder Amerika yang menjadi guru para motivator ternama seperti Anthony Robin yang dikenal sebagai motivator keuangan dunia.
Filosofi, kata Jim Rhon, adalah nilai-nilai dasar yang membentuk tindakan, sikap, dan masa depan seseorang. Rumusan ringkasnya, "bangunlah filosofimu, lalu berkomitmen dengan itu."
Ketika membaca rumusan Jim Rhon yang lahir dan dibesarkan dalam keluarga petani miskin di Washington tetapi bisa menjelma menjadi seorang miliarder, saya teringat Erick Thohir. Seperti Jim Rhon, Erick lahir dari keluarga yang biasa-biasa saja dari Gunung Sugih, Lampung.
Dalam buku "(Bukan) Kisah Sukses Erick Thohir", disebut sang ibu adalah perawat asal Majalengka, Jawa Barat yang kemudian banting setir menjadi pedagang di pasar Tebet. Sementara sang ayah, seorang anak yatim yang merantau sebatang kara sejak umur 10 tahun.
"Saya terlahir dalam kondisi keluarga yang sederhana. Meski pada akhirnya orang tua saya kelak meraih kesuksesan dalam karier profesional, semua itu dilalui dari kondisi nol," tulis Erick dalam pengantar buku itu.
Dari anak seorang pedagang, Erick kemudian menjelma menjadi miliarder pemilik bisnis media, klub olahraga di dalam dan luar negeri, hingga menteri BUMN yang bertanggung jawab membesarkan entitas bisnis negara.
Dengan transformasi hidup semacam itu, muncul pertanyaan: filosofi seperti apa yang membentuk Erick meraih kesuksesan di karier profesionalnya?
Mengapa ia seperti Raja Midas (raja dalam mitologi Yunani yang mampu mengubah apa yang ia sentuh menjadi emas) ketika mampu menjadi juru selamat bagi Inter Milan dan Republika, misalnya.
Filosofi pribadi
Merujuk buku "(Bukan) Kisah Sukses Erick Thohir", benang merah yang menyatukan karakter Erick Thohir adalah prinsip kerja keras, tekad menjadi yang terbaik, mau introspeksi diri, dan nilai-nilai spritualitas keagamaan yang diwariskan kedua orang tuanya.
Sejak kecil, Erick dididik dengan prinsip bahwa setiap perbuatan memiliki konsekuensinya. Meski ekonomi keluarganya terus membaik, Erick diajarkan untuk berempati dan bermanfaat bagi orang lain. Pun, ketika melakukan kesalahan, harus mau mengoreksi diri.
Saat duduk di bangku SMA, Erick pernah terlibat perkelahian lantaran tak bisa mengontrol emosinya. Akibatnya, dia harus berurusan dengan polisi. Tentu itu membuat orang tuanya kecewa. Dari momen itu Erick belajar menyelesaikan masalah tanpa melibatkan fisik, melainkan menggunakan otak.
Momen berurusan dengan polisi itu begitu membekas di benak Erick. Sejak itu, dia berprinsip menyelesaikan masalah dengan solusi, bukan justru menciptakan masalah baru. Prinsip itu diterapkan Erick ketika menjadi Presiden Inter Milan.
Selang lima tahun setelah sempat dihina media Italia, Erick mampu mengembalikan Inter Milan ke kasta tertinggi sepak bola Eropa. Bahkan, media Italia yang dulu sempat menghinanya, berbalik menjulukinya penyelamat Inter Milan.
Di dunia kerja, Erick memegang teguh satu prinsip: be the best or nothing. Jadilah yang terbaik atau tidak sama sekali. Tampaknya, prinsip itulah yang membuat Erick menonjol di mana pun ia berada.
Itu dibuktikan Erick saat memimpin klub basket Satria Muda pada akhir 90-an. Saat itu, Satria Muda menduduki posisi terbawah di kompetisi Kobatama. Tak butuh waktu lama, Satria Muda membalikkan keadaan: dari posisi juru kunci menjadi juara nasional.
Apa yang dilakukan Erick? Berpegang pada prinsip menjadi yang terbaik, Erick membentuk the winning team bermental juara. Melecut motivasi pemain dan manajemen agar tak cepat berpuas diri sebelum menjadi yang terbaik.
"Bagi saya, biasa-biasa saja tidak cukup. Oleh karenanya, saya selalu suka dengan adagium dari salah satu pabrikan otomotif besar, be the best or nothing," kata Erick dalam bukunya. Untuk menjadi yang terbaik, Erick sadar itu tak bisa dilakukan sendiri.
Itu sebabnya, ia tak segan merekrut tenaga profesional di bidangnya dalam timnya. Tapi ingat, jago secara teknis saja tak cukup. Erick punya kriteria tambahan yang tak kalah penting: kualitas moral, mental yang tangguh, dan intelek.
Bagi Erick, tak ada tawar-menawar untuk urusan moral dan mental. Jika faktor intelektual bisa dipelajari seiring waktu, itu tak berlaku bagi moral dan mental yang telah mendarah daging. Pendek kata, akhlak dan perilaku berada di depan ilmu.
Itu sebabnya, jika di timnya ada yang moral dan mentalnya rusak, Erick tak segan untuk mengucapkan "goodbye."
Urusan moral dan mental itu pula yang ditekankan Erick ketika menjabat Menteri BUMN sejak Oktober 2019. Membenahi perusahaan negara yang dulunya identik dengan stigma merugi karena prilaku koruptif, Erick mendengungkan "Akhlak" sebagai prinsip kerjanya.
Selain dalam makna harfiah, Akhlak adalah singkatan dari Amanah, Kompetensi, Harmonis, Loyal, Adaptif, dan Kolaboratif.
Setelah faktor teknis terpenuhi, masih ada satu hal yang tak boleh dilupakan: doa. Bagi Erick, doa dan usaha adalah jembatan yang menghubungkan mimpi atau rencana dengan takdir atau kenyataan. Jadi, saat rencana tak sesuai kenyataan, bisa jadi "jembatannya" yang tidak kokoh sehingga perlu diperbaiki.
Sebagai pemimpin, Erick percaya pada penguatan sistem dan pendelegasian wewenang. Baginya, pemimpin adalah orang yang membangun sistem dan sistem itu mampu bekerja dengan siapa pun pelaksananya.
Filosofi bernegara
Dalam kehidupan bernegara, Erick juga berpegang pada prinsip memberikan yang terbaik. Itu dibuktikan saat perhelatan Asian Games 2018. Saat itu, Erick yang masih menjabat Presiden Inter Milan diminta Presiden Joko Widodo menjadi ketua panitia Asian Games 2018.
Lantaran merasa penunjukan itu "tugas negara", Erick memilih meninggalkan Inter Milan dan fokus mempersiapkan perhelatan Asian Games. Di sana, reputasinya kembali dipertaruhkan. Tak hanya reputasi pribadi tetapi juga nama Indonesia sebagai negara.
Hasilnya, Erick berhasil membawa Indonesia menorehkan prestasi baru di kancah olahraga.
Tak hanya seremoni pembukaannya yang spektakuler dan diakui media-media internasional, untuk pertama kalinya sejak 1962, kontingen Indonesia bertengger di posisi empat klasemen akhir Asian Games dengan menyabet total 24 emas, 43 perak, dan 98 perunggu.
Saat memimpin Kementerian BUMN, Erick berpegang pada filosofi bermanfaat bagi orang banyak. Lewat prinsip itu, Erick ingin BUMN tak hanya berkontribusi bagi negara,tetapi juga punya program yang dekat dengan rakyat.
Erick ingin masyarakat juga menikmati hasil usaha BUMN. Caranya: selain mendirikan Yayasan BUMN untuk menyalurkan bantuan kepada masyarakat, Erick memutar uang dari hasil usaha BUMN untuk dipinjamkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit kepada UMKM. "Keuntungan BUMN tak boleh mengendap,” ujar Erick.
Filosofi bernegara Erick Thohir diuji ketika dirinya diminta menjadi ketua tim pemenangan pasangan Jokowi - Ma'ruf Amin saat Pilpres 2019. Lawan yang harus dihadapi Erick saat itu adalah sahabatnya sendiri, Sandiaga Uno yang berpasangan dengan Prabowo Subianto.
Namun, lagi-lagi Erick menunjukkan kelas kepemimpinannya. Alih-alih memakai metode permusuhan, Erick menggunakan prinsip politik bersahabat.
Laksana prinsip fairplay yang diterapkan di lapangan basket ketika dirinya bertanding melawan Sandiaga Uno ketika remaja dulu, Erick yakin prinsip adu strategi secara fair juga bisa diterapkan di politik. Siapa pun yang menang, tetap bisa berangkulan setelah pertandingan usai.
Hasilnya, kita tahu, Erick menjawab kepercayaan Jokowi dengan persembahan kemenangan. Namun, Erick sadar, yang kalah adalah kubu sahabatnya. Itu sebabnya, tak ada selebrasi berlebihan untuk merayakan kemenangan.
Untuk menjaga kondisi politik tak memanas, Erick diam-diam merancang pertemuan dengan elite kubu sebelah untuk mendinginkan suasana.
Upaya rekonsiliasi dirintis. Hasilnya, di tengah memanasnya suasana, terjadi pertemuan bersejarah antara Jokowi dan Prabowo di atas kereta MRT Jakarta pada 13 Juli 2019. Pertemuan yang meredam suasana itu tak lepas dari peran Erick dengan prinsip fairplay-nya.
Sebagai manusia Erick tak luput dari kekurangan. Ia juga pernah merasa gagal. Itu terjadi ketika ia menjadi ketua kontingen Indonesia pada Olimpiade London 2012. Saat itu, Erick merasa gagal karena tak mampu mempertahankan tradisi medali emas yang diperoleh Indonesia sejak Olimpiade 1992.
Kegagalan itu tak lantas membuatnya meninggalkan dunia olahraga. Namun, dijadikan dorongan moral untuk lebih baik lagi. Hasilnya, ketika menjadi Ketua Komite Olimpiade Indonesia (KOI) 2016, Erick membalas kegagalan di London dengan raihan medali emas bagi kontingen Indonesia di Rio, Brasil.
Kesadaran Erick untuk memperbaiki diri itu, klop dengan apa yang pernah disampaikan Jim Rhon,"Jika kamu mengubah filosofimu, maka kebiasaanmu juga akan berubah."