REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Krisis kontaminasi bahan kimia dilaporkan terus meningkat dan mengancam satwa liar di tujuh benua. Paparan polusi plastik di lautan misalnya, pernah membunuh burung albatross. Lalu krisis iklim juga mengancam habitat beruang kutub, begitupun simpanse yang terancam akibat deforestasi.
Meskipun masalah-masalah ini sudah banyak diketahui, masih ada satu bahaya yang kini mengancam satwa liar, yakni paparan bahan kimia beracun seperti zat per dan polifluoroalkil (PFAS) dan senyawa kimia yang bisa meredam nyala api atau flame retardants (FR).
Green Science Policy Institute baru saja merilis sebuah peta yang memperlihatkan jejak global flame retardants, yang ditemukan pada semua jenis satwa liar. Bahan kimia ini secara perlahan-lahan terlepas dari produk ke lingkungan, menyebabkan paparan yang meluas dan memicu kemungkinan kanker, gangguan endokrin, perubahan perilaku, dan gangguan kesehatan lain. Bahan kimia ini juga terkait dengan masalah kesehatan manusia yang serupa.
Peta ini merupakan hasil dari proyek Environmental Working Group yang mengacu pada lebih dari 230 studi ilmiah untuk menunjukkan skala besar kontaminasi PFAS pada lebih dari 625 spesies di seluruh dunia.
“PFAS sangat persisten, tidak pernah terurai di lingkungan dan tetap berada di dalam tubuh selama bertahun-tahun. PFAS dikenal karena menyebabkan masalah kesehatan yang signifikan pada manusia, dan dampak buruknya terhadap satwa liar menjadi semakin nyata,” kata ilmuwan senior di Environmental Working Group, David Andrews.
Hasil dari pemetaan ini menunjukkan bahwa penggunaan PFAS dan FR secara berlebihan terbukti mencemari setiap sudut dunia. Andrews menegaskan, pembuatan PFAS dan FR hanya menjadi bahaya tambahan untuk kelangsungan hidup jangka panjang ratusan spesies.
“Proyek-proyek ini menunjukkan bahwa sudah waktunya bagi para pembuat kebijakan untuk dengan cepat memajukan kebijakan yang mengurangi polusi dari penghambat nyala api, PFAS, dan bahan kimia lainnya untuk melindungi manusia dan satwa liar,” kata Andrew seperti dilansir The Hill, Senin (30/10/2023).
Risiko-risiko tersebut telah didokumentasikan secara ekstensif. Paparan flame retardants pada manusia telah dikaitkan dengan gangguan endokrin, efek perkembangan saraf, dan beberapa jenis kanker. Namun, bahan kimia ini masih ditambahkan ke barang elektronik, kendaraan, dan produk lainnya untuk membantu produsen memenuhi standar keamanan produk. Baik saat digunakan atau setelah dibuang, bahan kimia tersebut akan melepaskan bahan kimia yang persisten, bioakumulatif, dan beracun ini.
PFAS adalah bahan kimia berfluorinasi yang mencakup ribuan senyawa antilengket, antinoda, dan tahan air. Bahan-bahan ini digunakan dalam beragam produk konsumen dan aplikasi komersial, mulai dari jaket hujan dan sofa hingga benang gigi dan pelapis kawat. Penggunaan selama puluhan tahun dan pelepasan industri yang tidak terkendali telah mengakibatkan kontaminasi air, tanah, dan darah manusia serta hewan di pelosok dunia.
Paparan PFAS dikaitkan dengan kerusakan pada sistem kekebalan tubuh, gangguan pada perkembangan reproduksi dan janin, gangguan hormon, dan peningkatan risiko kanker. Risiko kesehatan manusia ini mendorong peraturan dan perubahan produk di seluruh dunia.
Sementara itu, bahaya PFAS bagi satwa liar termasuk mengurangi kemampuan aligator di North Carolina untuk sembuh dari cedera, dan membuat penyu sisik di Pasifik Utara lebih kecil kemungkinannya untuk keluar dari cangkang. Kerugian yang ditimbulkan oleh flame retardant bagi satwa liar antara lain mengurangi ikatan pasangan pada kestrel dan meningkatkan kerentanan terhadap penyakit menular pada salmon Chinook.
Manajer sains dan kebijakan di Green Science Policy Institute, Lydia Jahl, menambahkan bahwa di berbagai lokasi, satwa liar menghadapi ancaman ganda dari PFAS dan FR. PFAS pada beruang kutub di Greenland Timur dikaitkan dengan gangguan hormon, sementara sejumlah zat penghambat nyala api telah terdeteksi pada populasi yang sama dan juga dikaitkan dengan gangguan tiroid.
Populasi katak berbintik hitam yang hidup di dekat fasilitas daur ulang limbah elektronik di Cina ditemukan mengandung PFAS dan zat penghambat nyala api yang disebut parafin terklorinasi, yang dapat merusak hati mereka. Lumba-lumba hidung botol yang ditemukan di lepas pantai Carolina Selatan memiliki tingkat PFAS yang terkait dengan disfungsi kekebalan tubuh, sementara lumba-lumba hidung botol di lepas pantai Florida juga tercemar oleh zat FR.
“Ratusan spesies lain terkontaminasi dengan satu atau lebih bahan kimia berbahaya, meskipun pada kenyataannya, sebagian besar satwa liar kemungkinan besar terpengaruh oleh puluhan hingga ratusan bahan kimia buatan manusia,” kata Jahl.
Peta penelitian ini, kata Jahl, merupakan seruan untuk menggunakan pendekatan baru yang lebih etis dan bertanggung jawab. Dengan begitu, kehidupan manusia dan satwa, juga makhluk hidup lain di Bumi bisa memiliki masa depan yang lebih sehat dan berkelanjutan.