REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh Prof Dr Bustanul Arifin, Guru Besar Unila, Ekonom INDEF, Koordinator FG Pangan PP ISEI
Indonesia adalah produsen terbesar rumput laut tropis di dunia atau nomor 2 untuk kategori rumput laut umum, dengan total produksi pada 2023 mencapai sektiar 10 juta ton. Areal budidaya rumput laut masih tercatat 102 ribu ton, yang sangat jauh dari potensi produksi atau dari luas atau panjang pantai di Indonesia.
Pada tahun 2016 produksi rumput laut pernah mencapai 11 juta ton. Lalu turun secara berkala dan mencapai produksi terendah 9,1 juta ton pada masa Pandemi Covid-19 tahun 2021 karena teknologi produksi yang sangat tradisional.
Jumlah petani/nelayan yang terlibat atau pembudidaya rumput laut masih tercatat 63 ribu rumah tangga dan belum menjadi opsi kegiatan ekonomi nelayan. Sebagian besar (64 persen) mereka hanya mengenyam pendidikan dasar atau bahkan tidak tamat, masih berada di bawah garis kemiskinan dengan status rumah tempat tinggal sederhana, berbahan baku kayu dan beratap seng. Tidak sampai 6 persen dari nelayan atau pembudidaya rumput laut ini memiliki akses pembiayaan perbankan, dan banyak menggantungkan pada peminjam uang informal.
Artikel ini menganalisis hilirisasi atau peningkatan nilai tambah rumput laut, khususnya untuk pengembangan fungsional. Pangan fungsional di sini adalah pangan yang mempunyai senyawa bioaktif atau fungsional tertentu dan memiliki khasiat bagi kesehatan. Istilah lain dari pangan fungsional adalah: nutraceutical, pharma food, vita food, phytochemical, health food, natural food, dll. Penutup artikel ini adalah rekomendasi kebijakan untuk mewujudkan hilirisasi rumput laut, yang diharapkan menjadi salah satu tambahan sumber pendapatan tradisional.
Pemanfaatan rumput laut
Produksi rumput laut Indonesia sebagian besar digunakan untuk konsumsi domestik (59 persen dari total), sekitar 15 persen untuk industri agar-agar dan karagenan dan 26 persen untuk memenuhi permintaan ekspor. Nilai ekspor produk rumput laut mencapai 400 juta dolar AS atau ranking 5 tertinggi untuk ekspor perikanan nasional, setelah udang, tuna-tongkol-cakalang (TTC), cumi-sotong-gurita (CSG), dan rajungan-kepiting (RK).
Sebagian besar konsumen pangan negara maju tidak hanya mempertimbangkan kelezatan pangan dan kualitas gizinya, tetapi juga manfaatnya bagi kesehatan tubuh. Tren permintaan terhadap pangan fungsional terus meningkat seiring membaiknya pendapatan masyarakat dan kondisi perekonomian.
Secara konseptual, beberapa persyaratan untuk kategori pangan fungsional adalah: (1) merupakan produk pangan (bukan berbentuk kapsul, tablet, atau bubuk) yang berasal dari bahan ingredien alami, (2) layak dikonsumsi sebagai bagian dari diet menu sehari-hari, (3) mempunyai fungsi tertentu saat dicerna dalam proses tubuh, seperti: memperkuat mekanisme pertahanan tubuh, mencegah penyakit tertentu, membantu mengembalikan kondisi tubuh setelah sakit, menjaga kondisi fisik dan mental, serta memperlambat proses penuaan (Astawan, 2011).
Potensi permintaan pangan fungsional yang berasal dari rumput laut sangat tinggi, mencapai setidaknya 10 juta ton pada 2030, naik menjadi 25 juta ton pada 2040 dan bahkan 35 juta ton pada tahun 2050 (Velinga, 2022). Studi tersebut juga membuat estimasi potensi hilirisasi rumput laut untuk industri pakan dengan nilai 1.078 juta dolar AS, industri bahan aditif pakan 1.122 juta dolar AS, dan industri biostimulan 1.876 juta dolar AS.
Pada jangka menengah, potensi hilirisasi rumput laut untuk industri nutraceutical 3.954 juta dolar AS, industri alternatif protein 448 juta dolar AS, industri bioplastik 733 juta dolar AS, dan industri bahan garmen 862 juta dolar AS. Potensi industri hilir yang demikian tinggi perlu dimanfaatkan dengan sistematis, mulai dari peningkatan produktivitas di hulu usahatani melalui teknik budidaya perairan (aquakultur) yang baik, penggunaan teknologi maju, intensifikasi dan ekstensifikasi
produksi, serta teknologi panen dan penanganan pasca panen yang baik.
Peta jalan hillirisasi rumput laut
Penggunaan teknologi mekanisasi untuk meningkatkan produktivitas dan megurangi biaya produksi budidaya rumput laut. Teknologi mekanisasi ini menjadi opsi menguntungkan bagi petani rumput laut untuk meningkatkan areal budidaya (ekstensifikasi), meningkatkan densitas budidaya (intensifikasi) dan mengurangi biaya transportasi dan bakar bakar.
Saat ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sedang melaksanakan pilot project budidaya rumput skala besar di Teluk Awang, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB). Sebanyak 16 usaha budidaya rumput laut telah dibangun, hingga Desember 2023, dari target 64 usaha budidaya pada akhir September 2024. Usaha budidaya tersebut telah menggunakan teknologi mekanisasi modern, seperti auto tangler, spool machine, starwheel, lines puller, dll.
Pilot project ini juga diharapkan memberikan dampak penyerapan tenaga kerja dan
peningkatan pendapatan bagi penduduk lokal, peningkatan akses pembiayaan bagi nelayan setempat, dan pengendalian dampak lingkungan, ekosistem dan penambatan karbon. Kajian yang lebih mandalam perlu dilakukan untuk mengkuantifikasi dampak dan manfaat mitigasi perubahan iklim dari budidaya rumput laut skala besar ini.
Rekomendasi perubahan kebijakan
Strategi percepatan hilirisasi rumput laut memerlukan: pertama, integrasi perencanaan tata ruang dan wilayah laut untuk pengembangan rumput laut skala besar, berikut data kualitas air, data dasar (baseline) sumberdaya alam dan sumberdaya manusiua (SDM dan SDA), keterlibatan masyarakat lokal, ketersediaan teknologi dan fasilitas laboratorium kultur jaringan untuk penyediaan bibit unggul rumut laut serta keterhubungannya dengan pasar yang lebih luas.
Kedua, dukungan pembiayaan bagi pengusaha rumput laut domestik, setidaknya melalui Himbara (Himpunan Bank Negara), kolaborasi riset antar lembaga dalam mengembangkan pangan fungsional berbasis rumput laut dan produk kelautan dan perikanan lain.
Ketiga, implementasi inovasi dan teknologi pengolahan karagenan, agar-agar, kolagen dan produk pangan fungsional lain. Industri pangan fungsional perlu memperoleh dukungan dan kepastian bahan baku, peningkatan konektivitas antar wilayah dan kawasan.
Keempat, koorrdinasi dan harmonisasi antar lembaga dalam memastikan integrasi
perencanaan pembangunan, tataruang dan wilayah kelautan dan daratan, mulai dari budidaya rumput laut, penyediaan pasokan bahan baku, kualitas sistem logisik, konektivitas antar kawasan dan sarana prasarana pokok dan penunjang dan lain-lain.