REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Tembak mati dalam penanganan kasus terorisme bukan sebuah prestasi. Pasalnya, masih ada upaya penegakan hukum lain di luar tembak mati yang seharusnya bisa dilakukan.
Hal itu diungkapkan oleh Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), A Patra M Zen, dalam sebuah konferensi pers di Gedung YLBHI, Senin (17/5).
"Menegakkan hukum artinya apa, dia bisa menangkap tersangka, menahan tersangka, melakukan penyelidikan, dan melimpahkan pada kejaksaan. Jadi kalau berhenti di tembak mati, itu bukan penegakan hukum," ujar Patra.
Menurut Patra, cara tembak mati bukan menjadi solusi. Tetapi justru menimbulkan ketakutan tersendiri. "Dulu kita sudah trauma dengan petrus (penembak misterius) itu," kata Patra.
Seharusnya dalam penanganan kasus terorisme ini, Detasemen 88 Polri yang masih berada di bawah Mabes Polri harus tunduk pada Undang Undang Nomor 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Berkaca pada penggrebekan terhadap sekelompok orang yang dilakuan di Cikampek dan Cawang, dari enam orang yang ada, polisi menembak mati lima di antaranya. Meskipun tidak mengetahui kondisi yang terjadi di lapangan, Patra mengatakan, dengan fakta masih ada satu orang yang ditangkap hidup-hidup, mengapa kelima orang yang lain tidak bisa.
"Bagaimana bisa dibilang prestasi jika lebih banyak yang mati daripada yang ditangkap hidup-hidup," ujarnya.
Tembak mati ini, selain polisi akan kesulitan menggali informasi, lingkaran dendam akan terbentuk. "Coba misalnya kamu melihat bapakmu ditembak mati tanpa alasan yang jelas, bagaimana?," kata Patra. Karena itulah dia meminta cara kerja Densus 88 dievaluasi.