REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Mantan Menteri Hukum dan HAM, Yusril Izha Mahendra mengatakan bahwa penetapan tersangka atas dia dalam kasus korupsi Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) bersifat politis. Ia mencurigai ada pihak-pihak yang berusaha mematikan karir politiknya dengan memanfaatkan kasus ini.
"Indikasi pertamanya, kasus Sisminbakum ini muncul beberapa hari setelah saya dinyatakan sebagai calon presiden oleh Parta bulan Bintang (PBB). Tujuannya jelas. Dengan menjerat saya dengan dakwaan yang hukumannya bisa mencapai lima tahun, karir politik saya dimatikan," ujar Yusril saat dihubungi Republika, Jumat (25/6) malam.
Ia mengatakan bahwa hal tersebut sudah mafhum terjadi di ranah politik tanah air. Penggunaan proses hukum untuk menjerat lawan politik sudah lumrah terjadi di Indonesia.
Terlebih lagi, kata Yusril, ia merasa dalam pelaksanaan Sisminbakum, tak ada undang-undang yang dilanggar. Tak dilakukannya tender dalam memilih rekanan dalam proyek ini kata Yusril karena tak ada APBN yang digunakan untuk pelaksanaan Sisminbakum. Seluruh biaya ditanggung PT Sarana Rekatama Dinamika (SRD), dan ada perjanjian setelah sepuluh tahun seluruh aset Sisminbakum akan dikembalikan pada negara.
Yusril juga mengatakan, tak ada kerugian negara dalam pelaksanaan Sisminbakum. Karena dibiayai oleh swasta, maka biaya access fee yang ditarik dari pengguna sistem ini bukan Pendapatan Negara Bukan Pajak. Selain itu, negara juga sudah mengambil pajak dari hasil access fee ini. "Pelaksanaan Sisminbakum ini juga sudah berlangsung selama tiga kali pergantian presiden. Gus Dur (Abdurrahamn Wahid), Megawati, dan Yudhoyono. Tak ada satupun yang menetapkan bahwa access fee adalah PNBP," tegas Yusril.
Terkait dugaan bagi-bagi hasil access fee di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) menurut Yusril ia sama sekali tidak tahu-menahu. Kata dia, pembagian tersebut dilakukan dimasa Menteri Hukum dan HAM dijabat oleh Baharuddin Lopa. "Penetapan tersangka ini juga hanya masalah beda persepsi antara kejaksaan dengan Departemen Hukum dan HAM," ujar Yusril.
Menurut dia, jika kejaksaan paham pentingnya diadakan Sisminbakum, ia tak akan dijadikan sebagai tersangka. Proyek ini, menurut Yusril pertama kali digelontorkan menyusul sejumlah syarat yang diajukan International Monetary Fund (IMF) guna perbaikan ekonomi Indonesia selepas terimbas Krisis Moneter pada 1998.
Saat itu, IMF mensyaratkan bahwa Indonesia harus mempermudah perijinan badan usaha jika ingin merekoveri perekonomian. Sementara, saat itu, masih 40.000 badan usaha yang menunggu dikeluarkan ijinnya oleh Depkumham. Karena itulah pengadaan Sisminbakum harus disegerakan. Dan karena pemerintah dinilai lamban mewujudkan proyek ini, maka Depkumham menggaet pihak swasta.
"Kami di Depkumham ini sudah paham hukum semuanya. Jadi tidak mungkin kami menggelontorkan proyek kalau tahu proyek itu melawan hukum," pungkas Yusril.
Yusril ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan dalam kasus Sisminbakum, Kamis (24/6) kemarin. Ia dinilai bersama-sama dengan pemegang saham PT SRD, Hartono Tanoe Soedibyo bertanggung jawab dalam pengadaan proyek yang ditengarai merugikan negara sebesar Rp 420 miliar ini.fyz