REPUBLIKA.CO.ID,JAMBI--Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menawarkan dua cara untuk mengembalikan kewenangan pembatalan peraturan daerah (perda) kepada Mendagri. Hal ini sekaligus menjawab keinginan dewan untuk mendelegasikan wewenang tersebut dari Presiden ke Mendagri. "Kami memiliki pandangan yang sama dengan DPR," kata Kepala Pusat Penerangan Kemendagri, Saut Situmorang, di Jambi, Senin (02/03).
Menurutnya, ide pengembalian wewenang itu mencuat ketika Undang Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2009 tentan Pajak dan Retribusi Daerah berlaku. Sehingga perda yang dimaksud hanya pada peraturan menyangkuta pajak dan retribusi daerah. Di dalam peraturan itu dinyatakan bahwa wewenang pembatalan perda terkait pajak dan retribusi daerah berada di tangan presiden.
Tetapi ternyata selama peraturan itu berjalan ditemukan kesulitan. Agenda presiden yang sangat banyak dalam urusan kenegaraan, dikhawatirkan menganggu efektifitas evaluasi dan pembatalan perda. Karena perda yang harus dievaluasi bisa mencapai ribuan.
Oleh karena itu, muncul rencana untuk mengembalikan kewenangan pembatalan perda pada Mendagri. Cara pertama yang bisa ditempuh agar tidak menyalahi amanah UU Nomor 28 Tahun 2010 adalah dengan mengatur kewenangan itu dalam PP (Peraturan Pemerintah. "Sehingga di sana ada delegasi kepada mendagri," kata Saut.
Cara kedua, yaitu melakukan revisi UU Nomor 28 Tahun 2009 terutama bagian-bagian yang mengatur kewenangan pembatalan perda. "Tapi ini harus ada kesepakatan betul oleh pihak pemerintah dan DPR mengenai pentingnya menjamin kelancaran pembinaan dan pengawasan perda," kata Saut.
Sementara itu, kata Saut, untuk mengurangi beban presiden dalam menangani evaluasi dan pembatalan perda. Mendagri sudah sering mengirimkan surat ke daerah untuk meminta perbaikan perda agar tidak perlu sampai ke presiden untuk dibatalkan.