REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Ketua Mahkamah Konsitusi (MK), Mahfud MD, meminta kepada pemerintah untuk serius ketika berperkara di MK. Terutama terkait materi yang diajukan saksi pemerintah dan juga materi tanggapan pemerintah.
"Sepertinya setiap perkara itu cuma copy paste," ujar Mahfud dalam sidang uji materi UU No 16/2004 tentang Kejaksaan, Jumat (6/8).
Menurut Mahfud, materi yang sering diajukan pemerintah hanya menyalin dari perkara-perkara sebelumnya. Sedangkan dari sisi saksi yang diajukan pemerintah, Mahfud meminta untuk tidak memberikan penjelasan yang terlalu teknis dan rutin. Baginya perkara UU Kejaksaan ini bukan perkara yang mudah dilawan argumentasinya. Sehingga keseriusan pemerintah dituntut dalam uji materi ini. ''Nampaknya dalam perkara UU lain gampang dengan copy paste, tapi yang ini lain, kecuali kalau mau menyerah," jelasnya.
Dalam persidangan tersebut, Mahfud yang juga memimpin majelis hakim, menolak permohonan kejaksaan untuk menjadi pihak terkait dalam uji materi UU Kejaksaan yang diajukan mantan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (HAM), Yusril Ihza Mahendra. "Ini pengujian UU, kejaksaan merupakan bagian dari pemerintah," katanya. ''Pemikiran kejaksaan sebaiknya disalurkan dalam pernyataan pemerintah, menjadi satu paket.''
Menanggapi pernyataan copy paste yang menjadi kebiasaan pemerintah, Yusril mengatakan bahwa dirinya menghargai tanggapan yang diberikan pemerintah. Selain itu pemerintah juga sudah diberi kesempatan untuk menjawab secara lisan dan tertulis dari pertanyaan hakim, pada sidang selanjutnya. "Pemerintah silakan mengajukan argumen tambahan, saya pikir ini forum yang baik, saya akan jelaskan pengetahuan saya tentang kejaksaan," ujarnya.
Seperti yang diketahui, Yusril menguji UU Kejaksaan terkait posisi jaksa agung. Dia menganggap Hendarman Supandji mengisi jabatan tersebut secara ilegal. Menurutnya ketika Kabinet Indonesia Bersatu I berakhir, seharusnya Hendarman berhenti atau habis masa jabatannya. Akan tetapi dia justru masih memangku jabatan itu hingga Kabinet Indonesia Bersatu II. Padahal tidak ada keputusan dari presiden terkait pengangkatan Hendarman sebagai jaksa agung.