REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA--Ratusan aktivis Front Pembela Islam (FPI) Surabaya merobohkan papan nama Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Jatim di Jalan Bubutan, Surabaya, Selasa (10/8). "Saat itu, kami tidak ada di tempat, karena setelah Shalat Dzuhur ada acara 'JAMAK' (Jaringan Masyarakat Anti-Kekerasan) Jatim," kata Ketua JAI Jatim, Sebthe Hasan.
Menurut dia, ratusan pegiat FPI itu datang secara tiba-tiba pada pukul 13.00 WIB ketika kantor JAI Jatim sedang ditutup pasca-Shalat Dzuhur. "Mereka datang dengan teriakan Allahu Akbar berkali-kali dan karena pagar tertutup maka mereka merusak apa yang ada. Akhirnya massa merobohkan papan nama JAI dan diinjak-injak," tuturnya.
Saat itu, menurut dia, tidak ada pengurus JAI di lokasi kejadian pasca-Dzuhur, kecuali seorang anggota JAI yang kebetulan berjualan di dekat kantor JAI. "Kami mendapatkan laporan dari beliau, lalu kami datang ke kantor," ungkap Sebthe.
Tentang respon aparat kepolisian, ia mengatakan saat kejadian berlangsung hanya ada enam polisi di lokasi. Mayoritas polisi waktu itu sedang mengawal aksi damai sejumlah organisasi keagamaan yang melakukan imbauan dengan mendatangi lokalisasi Dolly dan sebagainya.
"Saya sudah mendapat konfirmasi dari Kanit Intelkam Polrestabes Surabaya. Beliau bilang polisi tidak dapat berbuat apa-apa karena jumlah mereka hanya enam orang, sedangkan pegiat FPI ada 200-an orang," ujarnya.
Sementara itu, sejumlah pengurus FPI Surabaya tidak dapat dihubungi per telepon, meskipun handphone (HP) mereka aktif. Namun sejumlah saksi mata menyebutkan FPI beralasan JAI sudah dinyatakan sesat oleh pemerintah sebagai pembenaran tindakan mereka.
Secara terpisah, Pelaksana Harian JAMAK Jatim Achmad Zainul Hamdi menyatakan siap melakukan advokasi terhadap pegiat JAI yang mengalamit tindak kekerasan itu. "Kami tidak melihat pelakunya dari FPI atau bukan, karena kami tidak setuju kepada siapapun yang melakukan tindak kekerasan atas nama agama. Kami akan mengumpulkan data dan fakta tentang kejadian itu," ujarnya menegaskan.