REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA-–Utang luar negeri swasta telah melebihi angka sebelum krisis subprime mortgage Amerika. Sepanjang semester pertama 2010, jumlahnya sudah mencapai 15,7 miliar dolar Amerika. Sementara sektor riil dinilai mulai menggeliat.
‘’Akumulasi komitmen baru selama semester pertama 2010, naik 92,4 persen dibanding periode sama di 2009,’’ kata Kepala Biro Humas BI Difi A Johansyah, Rabu (11/8). Tetapi tidak dipungkiri, tingginya angka pertumbuhan ini tak lepas dari kontraksi sepanjang semester pertama 2009. Nilai 15,7 miliar dolar Amerika ini tidak termasuk dana asing yang ditempatkan di surat berharga domestik.
Jika dibandingkan dengan periode yang sama 2008, tambah Difi, capaian 2010 sudah lebih tinggi. Sebelum dampak krisis Amerika meluas pada akhir 2008, pinjaman luar negeri swasta mencapai 14,8 miliar dolar.
Difi mengatakan, naiknya angka komitmen pinjaman luar negeri swasta ini merupakan tanda mulai bergeraknya sektor riil. ‘’Mencerminkan kegiatan sektor riil membaik. Prospek ekonomi Indonesia yang positif juga mempengaruhi kepercayaan asing untuk berinvestasi di dalam negeri,’’ kata dia.
Data BI memperlihatkan sektor pertambangan dan penggalian menyumbang pertumbuhan komitmen pinjaman terbesar. Yaitu 404,6 persen dibanding periode sama tahun lalu. Berikutnya di setkro listrik, gas, dan air bersih, yang menyumbang pertumbuhan 121,4 persen dibanding tahun lalu.
Peningkatan pinjaman di sektor pertambahan dan penggalian, sebut Difi, terkait dengan lonjakan permintaan batu bara. Permintaan meningkat terutama dari Cina dan India. Pembangunan pembangkit listrik menjadi penyebab pertumbuhan pesat di sektor listrik, gas, dan air bersih. BI mengklaim, mayoritas dana pinjaman swasta ini digunakanutnuk modal kerja. Persentasenya mencapai 49 persen.
BI jugaa mencatat, 64,6 persen pinjaman swasta tak lagi berasal dari perusahaan induk atau grup-nya. ‘’Ini mencerminkan minat investor kepada sektor swasta Indonesia semakin membaik meskipun tidak memiliki hubungan kepemilikan,’’ kata Difi.
Mayoritas komitmen baru sepanjang semester pertama 2010, berupa pembiayaan perdagangan. Yaitu 44,6 persen, dengan tiga per lima-nya menggunakan jasa perbankan dan selebihnya berupa kredit perdagangan. ‘’Sejalan dengan impor non-migas selama periode itu yang meningkat 41,9 persen,’’ kata Difi. Sementara 42,8 persen pinjaman diajukan dalam bentuk kesepakatan utang. Selebihnya berbentuk sekuritas dan lain-lain.
Pertumbuhan pinjaman luar negeri ini tak sejalan dengan tren kredit valuta asing yang trennya melambat. Hingga 4 Agustus 2010, kredit valas baru tumbuh 7,15 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sementara kredit rupiah melesat tumbuh 22,28 persen yoy. Pengamat menilai hal ini memperlihatkan kucuran kredit masih lebih banyak ke barang konsumtif. Karena kebutuhan kredit valas terkait dengan impor barang modal.
Deputi Gubernur BI Muliaman D Hadad mengatakan, perlu waktu untuk mengubah sikap perbankan yang masih memilih kredit konsumer sebagai sasaran utama. ‘’Bank harus diingatkan, harus lepas dari kredit konsumsi. Perlu pencerahan mendorong kredit produktif,’’ kata dia, Rabu (11/8).
BI, kata Muliaman, sedang mendorong kredit produktif ini bisa mengucur lebih lancar. Menurut dia, suku bunga perbankan yang kerap dikeluhkan bukanlah satu-satunya persoalan yang harus diselesaikan. ‘’Tapi ada masalah lain seperti pajak, perdagangan, bea masuk, kebijakan perindustrian, dan peraturan daerah yang kerap perlu dilihat lebih jauh,’’ kata dia.
Karenanya, ujar Muliaman, BI tak hanya menggenjot intermediasi bank dengan beragam kebijakan termasuk rencana mengaitkan loan to deposit ratio (LDR) dengan giro wajib minimum (GWM). ‘’BI juga mencoba jajaki di tingkat daerah, bagaimana membangun sinergi yang lebih bagus di tingkat daerah,’’ kata dia.
Sebab, kata Muliaman, suku bunga kredit tinggi – misalnya – bisa jadi karena informasi yang tak lengkap soal profil risiko dan potensi suatu sektor. BI pun mendorong Pemerintah Daerah untuk menjajaki pembentukan sentra-sentra industri, untuk pemerataan sekaligus meningkatkan daya saing daerah.