REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kalangan DPR menilai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang jaksa agung sudah bijaksana. Dasar putusan sangat jelas, jaksa agung diangkat oleh presiden, sedangkan SK Presiden menjabat dalam kurun waktu 2004-2009 bersama menteri lainnya.
''Keputusan MK sudah sangat bijaksana, mengingat seharusnya sejak Susilo Bambang Yudhoyono diangkat menjadi presiden dan mengangkat menteri lainnya, masa jabatan jaksa agung juga berakhir dan presiden belum membuatkan SK-nya. Sebenaranya jaksa agung itu sudah ilegal sejak itu,” ujar anggota Komisi III dari FPG Bambang Susatyo saat diskusi di Gedung DPR RI, Jakarta, Jumat (24/9).
MK memutuskan masa jabatan Jaksa Agung, Rabu (22/9) pukul 14.35 WIB, Hendarman Supandji bukan jaksa agung dan tugasnya dilaksanakan oleh wakil jaksa agung. Putusan MK Nomor 049/PUU-VIII/2010 memuat amar, ''Masa jabatan Jaksa Agung itu berakhir dengan berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet atau diberhentikan dalam masa jabatannya oleh presiden dalam periode yang bersangkutan.”
Menurut Bambang, seharusnya masalah ini dapat diselesaikan, jika presiden segera membuat SK Jaksa Agung kembali. “Tapi pembantu-pembatu khusus tidak melakukan yang benar,” katanya.
Jika presiden melawan dan membiarkan keputusan MK, implikasinya sangat luas. “Kita dapat melihat dan menilai, tampaknyan pemerintah tidak menjalankan keputusan MK, bayangkan kalau besak-besok gugatan pilkada diputus MK, karena pemerintah pusat tidak memberikan contoh baik dan diikuti oleh mereka, maka akan menjadi potensi buruk,” terangnya.
Sementara itu, anggota Komisi III DPR dari FPDIP Topane Gayus Lumbuun mengatakan, presiden diminta tidak mengabaikan putusan MK. Jika tetap diabaikan, presiden bisa dianggap melanggar konstitusi. "Konstitusi mengamanatkan presiden harus mematuhi undang-undang. MK itu kan muara dari pengadilan," ujarnya.
Kelalaian pemerintah
Gayus menilai persoalan yang muncul saat ini merupakan akibat dari kelalaian pemerintah. Solusinya, ujarnya, presiden harus segera melantik Hendarman Supandji sebagai jaksa agung walaupun hanya untuk beberapa saat saja. Ini untuk memenuhi faktor administrasi yang tidak lengkap, cacat, lalai, dan tidak teliti.
Menurut Gayus, jika Presiden SBY tidak juga melakukan hal tersebut, akan muncul persoalan dari sisi hukum di mana dampaknya bisa memunculkan gugatan melalui Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN). "Secara politik DPR juga bisa mempersoalkan," ujarnya.
Sedangkan Anggota DPD RI asal Provinsi Bali I Wayan Sudirta mengaku tidak yakin jika presiden akan benar-banar mengabaikan putusan MK. "SBY paham betul terhadap risiko yang muncul jika sampai mengabaikan putusan MK ini," katanya.
Kalaupun saat ini Ppresiden masih bersikap diam, belum bisa dikatakan mengabaikan. Bisa jadi presiden tengah mempelajari putusan MK tersebut atau malah telah jauh melangkah dengan menyiapkan calon jaksa agung baru. "Saya yakin tidak mungkin presiden tetap mempertahankan Hendarman sebagai jaksa agung pascaputusan MK itu, karena tidak mungkin presiden membiarkan dirinya terus dituduh tidak taat hukum. Saya paham betul, SBY orang yang sangat taat dengan konstitusi," jelasnya.
Wayan mengaku yakin dalam waktu dekat presiden segera menyikapi putusan MK ini. Termasuk kemungkinan mengeluarkan Keppres pemberhentian Hendarman Supandji dan Keppres Jaksa Agung yang baru. "Ini hanya soal waktu dan administasi saja,'' tegasnya.