REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Setelah menyelesaikan studi S-2 di University of Melbourne, Jeffery berangkat ke India untuk menjalankan misi kristenisasi. Jeffery berprofesi sebagai dosen di kolej Kristen Madras (Madras Christian College), India. (John S. Badeau, “Arthur Jeffery-A Tribute”, The Muslim World 50 (1960)).
Di kolej tersebut, Jeffery bertemu sekaligus berteman akrab dengan dosen sekaligus Misionaris yang lebih senior, yaitu Pastor Edward Sell (1839-1932). Jeffery mengakui bahwa gagasannya tentang Alquran Edisi Kritis terinspirasi dari Edward Sell. (Arthur Jeffery, “Progress in the Study of the Koran Text”, Editor oleh Ibnu Warraq di buku The Origins of the Koran (New York: Prometheus Books, 1998) Sell menyeru kalangan misionaris Kristen ketika mengkaji Islam, supaya fokus kepada historitas al-Qur’an.
Menurut Sell, kajian kritishistoris al-Qur’an bisa dilakukan dengan menggunakan metodologi analisa bibel (biblical criticism). Merealisasikan idenya, Sell sendiri sudah menggunakan metodologi higher criticism, ketika mengkaji historisitas al-Qur’an di dalam karyanya Historical Development of the Quran. Higher criticism adalah satu bagian dari metodologi kritik Injil (Biblical criticism) yang memfokuskan pada pengarang, penanggalan dan asal mula teks. (Canon Sell, Studies in Islam (Delhi: BR Publishing Corporation, 1985; pertama kali terbit tahun 1928).
Gagasan Sell untuk mengkaji Alquran secara kritis-historis bukanlah gagasan orisinal. Sell sangat memanfaatkan hasil kajian yang dilakukan oleh Theodor Nöldeke (18361930), yang pada usia 20 tahun (tahun 1856), sudah menulis sebuah monograf dalam bahasa Latin tentang asal mula penyusunan Alquran.
Gagasan kritis-historis Alquran semakin menggeluti pemikiran Jeffery ketika ia berada di Kairo. Jeffery berada di sana karena mendapat kesempatan menggiurkan pada tahun 1921 dari Dr Charles R Watson, President pertama Universitas Amerika (American University), Kairo untuk menjadi salah seorang staf di fakultas School of Oriental Studies (SOS), yang didirikan pada 1921.
Selain Jeffery, staf-staf lain di fakultas S.O.S terdiri dari para orientalis terkemuka, seperti Earl E Elder, Canon Temple Gairdner dan Samuel Marinus Zwemer, pendiri jurnal The Moslem World. Persahabatannya dengan Zwemer menjadikan Jeffery, yang masih bergelar MA, diangkat sebagai seorang Pembantu Editor (Associate Editor) jurnal The Moslem World pada tahun 1922. Jeffery memperoleh gelar Doktor dari Universitas Edinburgh pada tahun 1929 dengan anugerah istimewa (with special honors). Universitas tersebut juga menganugerahkan Jeffery dengar gelar Doktor dalam kesusastraan (D Litt) dengan summa cum laude pada tahun 1938.
Penulis produktif
Tulisannya mengenai Alquran terbit di Jurnal The Muslim World tahun 1935 dengan Judul Progress in the Study of the Koran Text. Dua tahun setelah itu, yakni pada tahun 1937, buku Jeffery berjudul Materials for the History of the Text of the Quran: The Old Codices (Bahan-bahan untuk Sejarah Teks al-Qur'an: Mushaf-mushaf Lama) terbit. Setahun setelah itu, yaitu pada tahun 1938, buku Jeffery yang berjudul The Foreign Vocabulary of the Qur'an (Kosa-kata Asing Alquran) terbit di India. Buku ini merupakan perluasan dari tesisnya Jeffery yang ditulis sekitar tahun 1925-1926.
Pada tahun yang sama (1938), Jeffery dengan bantuan Otto Pretzl mendapatkan manuskrip yang ada di Berlin tentang Fada'il Alquran karya Abu Ubaid. Jeffery menerjemahkan satu bagian dari karya Abu Ubaid mengenai ayat-ayat yang hilang dari al-Qur'an ke bahasa Inggris dan diterbitkan di The Muslim World pada 1938. Setahun sesudahnya, hasil penelitian Jeffery tentang ragam bacaan al-Fatihah dipublikasikan di Jurnal The Muslim World.
Tahun 1940, Jeffery me-review dengan cukup panjang bukunya Nabia Abbot, The Rise of the North Arabic Script and its Kuranic Development, with a full description of the Kuranic Manuscripts in the Oriental Institute (Chicago: University of Chicago 1939). Pada tahun 1942, Jeffery bersama I. Mendelsohn mengkaji fotografi Mushaf al-Qur'an dari Samarqand, yang berada di perpustakaan Universitas Colombia.
Hasil kajian tersebut dipublikasikan di Journal of the American Oriental Society 62 (1942) dengan judul The Orthography of the Samarqand Quran Codex. Pada tahun 1950, Jeffery juga mempublikasikan empat serial tulisannya tentang The Quran as Scripture di Jurnal the Muslim World. Tulisan ini kemudian dibukukan dan diterbitkan pada tahun 1952 dengan judul yang sama. Pada tahun 1951, Jeffery memodifikasi kembali karyanya tentang Sejarah Teks al-Qur'an dengan judul Index of Qur'anic Verses to the English Part of `Material for the History of the Text of the Qur'an (Leiden: EJ Brill, 1951).
Jeffery menyimpulkan bahwa kitab suci Alquran adalah wahyu progressif. (Arthur Jeffery, "The Quran as Scripture," Muslim World 40 (1950)). Maksudnya, ide mengenai kitab suci dalam Islam adalah lanjutan dari konsep yang sudah lama berkembang dalam Yahudi, Kristen dan juga agama lain. Karena itu, sejarah al-Qur’an sama juga dengan sejarah kitab-kitab suci lainnya. Alquran berkembang melalui berbagai tahap sejarah teks sehingga muncul menjadi teks standar yang selanjutnya dianggap suci.
Jeffery menolak pendapat kaum Muslim yang mengatakan ketika Rasullullah saw wafat, teks Alquran sudah tetap, sekalipun belum dihimpun dalam sebuah mushaf. Ia memfokuskan penelitiannya kepada keragaman mushaf. Menurutnya, terdapat 15 mushaf primer dan 13 mushaf sekunder. Ia tidak mempercayai Mushaf Uthmani itu sebagai teks asli (Urtext).
Jeffery mengutip pendapat yang menyebutkan bahwa ketika Utsman mengirim teks standart ke Kufah dan memerintahkan supaya teks-teks yang lain dibakar, Ibnu Mas’ud menolak menyerahkan mushafnya. Di sini jelas Jeffery tidak jujur dalam menulis sejarah Alquran. Ia tidak mengkaji sikap menyeluruh dari Abdullah ibnu Mas’ud. Padahal, Kitab alMasahif yang disuntingnya menunjukkan bahwa Ibnu Mas’ud meridhai kodifikasi yang dilakukan Utsman ra Ibnu Mas’ud merevisi pendapatnya yang awal dan kembali kepada pendapat Utsman dan para Sahabat. Ibnu Mas‘ud menyesali dan malu dengan apa yang telah dikatakannya.
Banyak kesalahan dalam studi Arthur Jef fery dan para orientalis lain terhadap Alquran. Tampak, mereka juga tidak “netral” dalam studinya, sebab sudah berangkat dari asumsiasumsi tertentu. Ironisnya, di Indonesia, kini bermunculan jurnal dan buku-buku yang – kata mereka — mengkaji al-Qur’an secara kritis. Padahal, mereka terbukti menjiplak begitu saja pendapat orientalis, tanpa kritis.
Lebih ironis lagi, kini di sejumlah Perguruan Tinggi mulai dikembangkan studi Alquran, yang mengarahkan mahasiswa agar tidak mensucikan Alquran. Dengan bangga metode orientalis diterapkan. Katanya ilmiah dan demi kemajuan. Padahal, sadar atau tidak, mereka telah bertaklid kepada orientalis ketimbang para ulama Islam yang alim dan shalih.