Rabu 29 Sep 2010 22:30 WIB

Kisah Mengenaskan Anak-anak Keturunan Pengikut Alqaidah Irak

Anak keturunan pengikut Alqaidah di Irak
Foto: Al Arabiya
Anak keturunan pengikut Alqaidah di Irak

REPUBLIKA.CO.ID,DIYALA--Entah bagaimana nasib masa depan anak-anak itu. Usianya masih beliau, namun ia seakan ikut menanggung kesalahan yang ditimpakan kepada orang tua mereka.

Organisasi hak asasi manusia yang berada di Irak mengungkapkan fakta mengenaskan mengenai nasib anak-anak keturunan pengikut Alqaidah di Irak. Anak-anak yang tak berdosa itu merupakan buah pernikahan 'tak resmi' dari para pengikut Alqaidah dengan wanita-wanita Irak. Dikatakan 'tak resmi' karena pernikahan itu tak disertai catatan adaministrasi dari pemerintah Irak.

Lebih dari 50 anak dari wilayah Timur Irak, Diyala, dilaporkan tak mempunyai surat-surat resmi yang bisa menjelaskan identitas mereka. Diyala dikenal sebagai salah satu basis Alqaidah di Irak. Ibu dari anak-anak tanpa kewarganegaraan itu dilaporkan telah dinikahi oleh para pengikut Alqaidah yang datang dari luar Irak. Perkawinan yang tak diakui pemerintah Irak, karena para pengikut Alqaidah itu pun datang tanpa disertai surat-surat resmi.

Namun, perkawinan mereka telah disahkan oleh suatu badan yang berafiliasi dengan Alqaidah yang dianggap sebagai komite yang sah. Merunut pada aturan komite tersebut, pernikahan tersebut tidak terdaftar pada otoritas sipil. ''Mereka memaksa saya untuk menikah dengan seorang pria bernama Abu Zahraa ketika Alqidah menguasai Diyala,'' ujar salah seorang wanita kepada Al Arabiya. ''Sekarang aku mempunyai anak dari dia.''

Para ibu yang telah melahirkan anak-anak keturunan Alqaidah itu meminta organisasi hak asai manusia untuk menekan pemerintah Irak agar memberikan status kewarganegaraan kepada anak-anaknya. ''Anak-anak itu sudah benar-benar tidak diakui,'' ujar aktivis hak asasi manusia, Khaled Hassan. ''Mereka harus diberikan identitas untuk bisa hidup normal.''

Di banyak kasus, anak-anak itu merasa malu karena dipandang masyarakat sebagai anak tidak sah. Karena itu, ibu-ibu mereka kerap menyembunyikan anak-anaknya dan tidak membawanya ke tempat-tempat umum.

Untuk mengatasi masalah ini, para aktivis HAm menyarankan agar anak-anak itu diberi nama seperti saudara laki-laki terdekat dari ibunya atau seseorang yang mau menjadi sukarelawan. Mereka bisa juga diberi identitas atas nama ayahnya yang sebenarnya jika ayahnya itu menjadi buronan atau dipenjara.

Jika tak diberi status warga negara Irak dan tanpa indentitas dari pemerintah Irak, anak-anak itu tak bisa bersekolah. Kelak bila sudah dewasa, mereka pun tak bisa mendapatkan pekerjaan di Irak dan tak bisa bepergian karena tak bisa mendapatkan paspor.

Organiasi HAM di Irak memperkirakan, anak-anak tanpa identitas itu bisa berjumlah ribuah di seluruh Irak. Pasalnya, mereka merupakan buah dari tujuh tahun masa perang dan konflik yang menyertai runtuhnya sistem hukum di negara itu.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement