Sabtu 27 Nov 2010 23:01 WIB

Karena Sumiati Bukan Pelayan Seksi

Sumiati dalam perawatan di RS King Abdul Azis
Foto: antara
Sumiati dalam perawatan di RS King Abdul Azis

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA--Barangkali hanya ada satu pelayan yang bernasib baik yakni Inem Pelayan Seksi yang tampil di gedung bioskop pada tahun 1970-an. Artinya, banyak pelayan bernasib malang seperti Sumiati Binti Salam Mustopa asal Dusun Jala, Kecamatan Huu, Kabupaten Dompu-Bima, Nusa Tenggara Barat, yang menjadi pelayan alias TKI nun jauh di Madinah.

Wanita kelahiran Dompu, 2 Januari 1987, itu diberangkatkan PT Rajana Falam Putri, Jalan Haji Saidi Nomer 46 Tanjung Barat, Jakarta Selatan, ke Arab Saudi pada 23 Juni 2010.

Namun, TKI yang menjadi Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT) mulai 18 Juli 2010 itu mengalami penganiayaan dari majikan yang merekrutnya lewat agen "Al Mechdor Manpower Services" Madinah yakni Khalid Saleh Mohammad Al Hamimi.

Sumiati pun tidak sendirian. Kikim Komalasari binti Uko Marta, asal Cianjur, Jawa Barat, juga mengalami nasib mengenaskan sebagai TKI di Abha, sejak Juni 2009.

Wanita kelahiran 9 Mei 1974 itu berangkat melalui PT Bantal Perkasa Sejahtera, Jalan Condet Raya No 12 Jakarta Timur, namun ia juga diperlakukan tidak manusiawi oleh majikannya, Shaya` Said Ali Al Gahtani.

"TKI yang legal pun bukan jaminan tidak mengalami eksploitasi," kata Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Jatim Moch Cholily dalam diskusi revisi UU 39/2004 tentang perlindungan TKI di Sekretariat SBMI Jatim di Surabaya (31/8/2010).

Buktinya, kata Cholily, data resmi Disnakertrans Jatim mencatat TKI yang dikirim ke berbagai negara pada tahun 2009 mencapai 46.418 orang, tapi data BNP2TKI mencatat 33 ribu lebih.

"Artinya, ada 10 ribu lebih TKI yang tidak terlindungi, padahal data kepulangan dari beberapa titik (Perak, Juanda) tercatat 18.461 TKI yang pulang ke Jatim dengan berbagai penyebab, sehingga ada 8.461 TKI legal tapi tidak terlindungi," katanya.

Bahkan, katanya, masih ada eksploitasi yang "lebih parah" dari Sumiati, Kikim, dan pelayan lainnya, karena pelayan itu pulang tinggal nama.

"Percaya atau tidak, setiap hari selalu ada jenazah TKI yang datang ke bandara kargo Juanda, Surabaya. Artinya, setiap hari selalu ada TKI yang datang tanpa nyawa, hanya saja datanya yang belum ada," ucapnya. Walhasil, bila TKI yang legal dan sukses saja masih mungkin mengalami eksploitasi, apalagi bila TKI itu ilegal dan tidak sukses, maka sempurnalah derita yang dialami.

Masalahnya, kenapa kasus yang dialami Sumiati, Kikim, dan TKI lainnya yang bernasib serupa atau bahkan harus "mati di negeri orang" tetap menjadi fakta tahunan?

Di sela-sela seminar Jaringan Masyarakat Anti-Kekerasan (JAMAK) Jatim di kampus IAIN Sunan Ampel Surabaya (25/11), Wagub Jatim Saifullah Yusuf mengakui apa yang dialami Sumiati merupakan fenomena "gunung es."

"Untuk itu, kami akan mengajukan protes ke pemerintah Arab Saudi melalui pemerintah pusat, karena kami ingin ada rasa keadilan yang terukur," katanya.

Menurut dia, rasa keadilan yang terukur itu terwujud bila pemerintah Arab Saudi menjatuhkan hukuman kepada para majikan yang sewenang-wenang dan sadis itu.

"Mungkin saja, tindakan itu sudah ada, tapi saya nggak tahu, saya belum pernah dengar, karena itu kita akan protes," katanya.

Apalagi, katanya, masalah yang dialami TKI itu tidak didengarnya pernah dialami para TKI yang bekerja di Hongkong, Taiwan, dan Singapura.

"TKI di sana justru bagus, kalau pun ada masalah ya tidak banyak. Itu berbeda dengan TKI kita yang bekerja di Malaysia dan Arab Saudi," katanya.

Oleh karena itu, katanya, Pemprov Jatim bertekad untuk menghentikan pengiriman TKI yang sifatnya PRT (pembantu rumah tangga) pada tahun 2013.

"Tahun 2013, kita akan akhiri pengiriman TKI yang profesinya PRT, lalu kita ganti dengan TKI yang terampil seperti perawat, tukang, sopir, dan sebagainya," katanya.

Tekad Wagub Jatim itu dikritisi staf "Migrant Institute" dari Dompet Dhuafa, Sufyan.

Menurut dia, pengiriman TKI seperti itu justru terjadi karena adanya target dari Pemprov Jatim kepada Disnakertrans Jatim untuk mengirim 70 ribu TKI ke kawasan Asia Pasifik guna mengurangi pengangguran.

"Di Jatim ada sejuta pengangguran dan 70 ribu di antaranya diharapkan untuk dikirim ke luar negeri sebagai TKI, padahal mereka tidak memiliki ketrampilan teknis. Jadi, pemerintah hanya mengejar target," katanya dalam seminar perlindungan TKI di FH Unair (18/11).

Pandangan agak berbeda dikemukakan Ketua Komnas HAM Ifdal Kasim yang lebih menyoroti masalah TKI di dalam negeri.

"Mayoritas masalah TKI itu terjadi di dalam negeri, misalnya TKI di bawah umur, TKI yang tidak tahu budaya/hukum di negara tujuan, dan sebagainya," katanya.

Untuk masalah di luar negeri, katanya, kemungkinan terjadi akibat majikan merasa sudah membayar mahal kepada PJTKI, tapi pelayanan yang diterima berkualitas rendah, sehingga mereka emosi.

"Sebenarnya, ILO sudah memberi perhatian terhadap buruh migran, tapi kita tidak bisa mengefektifkan perlindungan di luar negeri karena kita belum meratifikasi konvensi dunia soal perlindungan warga di luar negeri dan kita banyak tergantung kepada pejabat Kemlu," katanya.

Agaknya, berbagai pandangan itu menunjukkan masalah TKI itu terjadi mulai dari hulu hingga ke hilir. Masalah hulu itu terkait dengan UU 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di luar negeri (PPTKILN), sedangkan masalah hilir terkait "MoU" pemerintah dengan pihak asing.

"Kasus Sumiati itu menunjukkan ada yang salah dengan UU PPTKILN yang seharusnya melindungi, tapi justru mendorong munculnya kasus penganiayaan," kata dosen Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu kepada ANTARA di Surabaya (18/11).

Dalam diskusi tentang perlindungan hukum bagi TKI di luar negeri di FH Unair Surabaya (18/11), peneliti hukum perburuhan di luar negeri itu mengatakan kelemahan TKI dari desa adalah kendala bahasa, ketrampilan teknis, dan buta budaya atau hukum di negara tujuan.

"Kelemahan TKI itu merupakan kesalahan pemerintah, termasuk perwakilan pemerintah di luar negeri yang tidak menolong TKI yang bermasalah, tapi justru mengembalikan TKI kepada majikannya," kata staf pengajar FH Unair Surabaya itu.

Hal yang harus direvisi dari UU 39/2004 antara lain persyaratan pendidikan minimal SMP harus diubah menjadi minimal SMK. "Kalau SMK, tentu mereka akan tahu tata boga atau ketrampilan lainnya," katanya.

Setelah itu, katanya, tahapan pelatihan harus menjadi kewajiban dan TKI yang berangkat tanpa pelatihan harus dilarang, karena negara berkembang seperti Filipina menerapkan syarat pendidikan menengah ke atas.

"Setelah persyaratan pendidikan minimal SMK, maka pelatihan tentang bahasa, budaya, dan sedikit tentang peraturan atau hukum di luar negeri juga patut diajarkan, sehingga TKI bukan mirip perdagangan budak di zaman modern," katanya.

Pemerintah harus memperjelas siapa yang merekrut, siapa yang melatih, dan siapa yang melindungi TKI di luar negeri, kecuali bila pemerintah ingin memutar ulang "film" balada Sumiati atau TKI yang meninggal dunia di negeri orang.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement