Senin 17 Jan 2011 21:40 WIB

‘Perawat Dipidana, Pemerintah Harus Tanggung Jawab’

Rep: Agus Yulianto/ Red: Johar Arif
Pelayanan kesehatan, ilustrasi
Foto: Antara
Pelayanan kesehatan, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,BANDUNG-Belum tuntas kasus Misran, mantri perawat asal Kalimantan Timur yang dijerat UU Kesehatan Tahun 2009 karena memberi pertolongan medis dan kini sedang menanti keputusan MK, muncul kasus Irfan Wahyudi, mantri perawat asal Situbondo, Jatim, yang juga ditangkap polisi karena memberi pertolongan medis.

Kasus ini membuat geram anggota DPR RI, Ledia Hanifa. “Persoalan distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata di negeri ini, serta tidak adanya landasan yang memberi kepastian dan payung hukum bagi tenaga perawat atau mantri, menjadi tanggung jawab pemerintah,” tegas anggota Komisi IX ini kepada Republika, Senin (17/1).

Ia mengatakan, bila mengacu pada Undang-undang Kesehatan, ratusan ribu perawat atau mantri bisa terpidana. Pasalnya, mereka dianggap tidak memiliki wewenang memberi bantuan medis langsung pada pasien. Tetapi, di sisi lain, menolak memberi bantuan medis pada situasi kedaruratan juga bisa dipidana.

Menurut UU tersebut, katanya, wewenang memberi bantuan medis hanya pada dokter. Sementara faktanya di Indonesia, hampir separuh puskesmas kekurangan atau malah tidak punya dokter sama sekali.

“Ini kan seperti  memakan buah simalakama. Tidak menolong pasien, berarti bisa menjadi terpidana. Namun, menolong pasien juga bisa terpidana. Lantas bagaimana masyarakat kita yang jumlahnya jauh lebih banyak tinggal di pedesaan dan tempat terpencil akan mendapat haknya untuk memperolah pelayanan kesehatan?” kata anggota legislatif dari dapil Kota Bandung dan Cimahi ini.

 Ia menegaskan pemerintah bertanggung jawab untuk segera membenahi sistem penataan tenaga kesehatan di negeri ini.

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement