Kamis 27 Jan 2011 08:48 WIB
Trending News

Naikkan Dulu Gaji Kami

Rep: Erik Purnama Putra/mg10/ Red: Johar Arif
Pegawai honor
Foto: Republika
Pegawai honor

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA-Masykur Zakaria (50 tahun) tak habis pikir dengan rencana pemerintah menaikkan gaji 8.000 pejabat negara, termasuk presiden dan para menteri. Guru honorer di sebuah SMA negeri di Jakarta Selatan itu merasa apa yang diterima para pejabat negara itu sudah cukup, karena mereka tak hanya menerima gaji tapi juga fasilitas lain.

''Kan sudah dapat Rp 62 juta, memangnya nggak cukup uang segitu,'' kata Masykur kepada Republika, Rabu (26/1). Mansyur sedang menyinggung gaji yang diterima seorang kepala negara Republika Indonesia tiap bulannya yang besarnya 38 kali gaji yang dia terima. Entah apa respons Mansyur bila tahu sang presiden juga punya fasilitas dana taktis Rp 2 miliar per bulan serta berbagai tunjangan lainnya.

Masykur hanya mengingatkan kepada pejabat negara jika amanah rakyat lebih penting ketimbang merisaukan gaji mereka. Betapa besar jumlah uang yang diberi, pastilah akan selalu merasa kurang. Dia melanjutkan, presiden dan pejabat negara seharusnya lebih risau manakala mendengar cerita para abdi bangsa di akar rumput. Para guru honorer, misalnya, yang ikhlas mengeluarkan peluh tanpa berpikir rupiah yang diterima jauh dari kata manusiawi.

Masykur sudah mengabdi sejak tahun 1987 dan tak kunjung diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Di Indonesia, tak hanya balita gizi buruk saja yang masih marak. Jumlah orang seperti Mansyur, pegawai honorer yang bergaji buruk, masih jutaan banyaknya.

Karir honorernya bermula di sebuah madrasah tsanawiyah di bilangan Duren Tiga, Jakarta Selatan. Ketika itu Masykur hanya memperoleh upah Rp 50 ribu per bulan. Kini, 23 tahun kemudian, gaji yang ia terima hanya Rp 1,6 juta. ''Itu pun ngajar di dua tempat,'' kata Masykur.

Namun, Masykur merasa gaji yang dia terima saat ini sudah cukup untuk memenuhi keluarganya. ''Untuk apa merasa kurang, yang penting kan masih bisa dapat rejeki dan bersyukur, itu saja sudah cukup,'' ungkap ayah empat anak itu.

Menurut Masykur, gaji presiden dan para punggawa republik ini boleh saja naik asal lebih dulu memperhatikan nasib rakyat kecil. Kalau rakyat di Indonesia sudah sejahtera semua dan punya pekerjaan semua, barulah gaji presiden boleh naik. ''Ibaratnya, pemimpin sejahtera rakyat makmur,'' imbuh Masykur.

Iyah (43), seorang tukang sapu jalanan di daerah Cipete, Jakarta Selatan, mengaku sakit hati dengan rencana kenaikan gaji presiden dan para pejabat negara tahun ini. Alasannya, untuk mendapatkan uang Rp 600 ribu per bulan, dirinya harus berpanas-panas sehari penuh tanpa mengenal lelah.

''Nah, ini presiden kan enak, kemana-mana pakai mobil mewah, nggak pernah kepanasan, masak minta naik gaji juga,'' kata Iyah. Dia lupa menambahkan bahwa presiden dan para pejabat jarang terkena kemacetan Ibu Kota karena selalu dikawal polisi.

Iyah pun meminta presiden agar menaikkan dulu gajinya sebelum menambah pundi-pundi rekening pribadinya. ''Kasih tahu saja gaji orang-orang kayak kita ini cuma Rp 20 ribu per hari. Kalau gaji presiden mau naik, ya gaji kita naikin dulu,'' tandas Iyah.

Sementara itu, Selamet Riyadi (46), penjaga sekolah SMAN 60 Jakarta Selatan, langsung memberi lampu hijau jika presiden dan para pejabat negara ini ingin naik gaji. ''Tapi saya jadikan PNS dulu,'' ucapnya. Lalu Selamet melanjutkan, kehidupan presiden saat ini sudah sangat berkecukupan dengan fasilitas mewah kelas satu. Karenanya tak pantas bicara gaji di tengah kehidupan rakyat masih susah.

Makruf (62), pengangkut sampah yang bekerja di bawah Dinas Kebersihan dan Pertamanan Pemerintah Kota Surabaya, Jawa Timur, juga hanya bisa berkomentar sinis mengenai rencana kenaikan gaji para pejabat negara. Ia menilai tak seharusnya gaji pejabat naik sebab pendapatan yang diterima sudah besar. Lagipula, pejabat negara juga mendapat fasilitas dan kenyamanan yang lebih dibanding rakyat biasa. ''Naikkan gaji saya dulu dan teman-teman, bukannya mereka yang duitnya sudah banyak?''

Makruf mengaku cukup sengsara dengan statusnya sebagai pegawai honorer selama 23 tahun tanpa pernah diangkat menjadi PNS. Ia bekerja delapan jam sehari mengangkut sampah dengan gerobak untuk ditaruh di tempat pembuangan sampah sementara di daerah Bratang, Surabaya. Dengan pekerjaannya yang melelahkan itu, ia mendapat upah Rp 810 ribu per bulan. Ia pun harus pandai-pandai menyiasati pengeluaran agar tetap bisa makan setiap harinya.

''Sudah lama gaji saya tidak naik. Jika gaji naik pun pasti sedikit. Padahal pengeluaran setiap hari cukup banyak,'' kata Makruf. Kalau bisa, dia ingin juga bisa mengusulkan kenaikan gaji, seperti halnya ribuan pejabat negara itu. Hanya saja, dia tak tahu harus berkeluh kesah kepada siapa terkait nasibnya itu.

Sedangkan, M Ali (25), pegawai honorer salah satu dinas di Pemerintah Provinsi Jawa Timur langsung memprotes keras rencana kenaikan gaji pejabat negara. Ali yang sudah bekerja empat tahun mengaku gajinya hanya Rp 900 ribu per bulan, masih di bawah upah minimum regional (UMR). Karena itu, ia meminta kesadaran pemerintah agar terlebih dulu memperhatikan nasib pegawai rendahan. ''Perhatikan gaji pegawai kecil dulu dong. Karena kerja kami sama dengan PNS lain, tapi gajinya jauh lebih kecil. Pejabat negara jangan dinaikkan dulu gajinya,'' ujar Ali.

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement