REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA-Rencana kenaikan gaji pejabat, termasuk presiden dan para menteri, jadi perdebatan. Rencana ini dilontarkan Menkeu Agus Martowardojo tak lama setelah Presiden SBY mengatakan sudah tujuh tahun gajinya tak naik-naik. Pantaskah pejabat naik gaji? Berikut wawancara Republika dengan Sekjen Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Yuna Farhan:
Tepatkah pemerintah menaikkan gaji pejabat mulai dari presiden pada tahun ini?
Persoalannya, kita belum tahu berapa persen kenaikannya. Kalau sudah ada keputusan, kita bisa menghitung implikasi beban pada anggaran negara. Tapi pada intinya, sekarang bukan waktu yang tepat pejabat naik gaji.
Bagaimana Anda melihat keseusian rencana kenaikan gaji pejabat dengan APBN 2011?
Kalau melihat APBN 2011, tidak mungkinlah dianggarkan sekarang. Kenaikan APBN tahun ini sampai Rp 18 trilun. Gaji pegawai ada di situ, mulai kenaikan gaji pokok, honorarium, kontribusi social, dan lain-lain. Dari kenaikan Rp 18 triliun itu sudah digunakan untuk renumerasi dan rekrutmen pegawai negeri sipil (PNS) baru.
Sebenarnya trend belanja pegawai kita itu meningkat seusai dengan kenaikan APBN. Misalnya, di tahun 2009 ke 2010 kenaikan mencapai Rp 34 triliun, lalu dari 2010 ke 2011 naik sampai Rp 18 triliun itu atau naik dari Rp 162 triliun ke Rp 180 triliun. Kenaikan itu termasuk untuk belanja pegawai dan pejabat.
Apa pengaruhnya terhadap APBN jika gaji pejabat dinaikan pada tahun ini?
Kalau betulan dinaikkan, maka beban pegawai akan berat sedangkan belanja lain akan berkurang. Laju pendapatan kita itu kan tidak sesuai dengan belanja. Pendapatan kita tidak seberapa tapi belanjanya banyak. Kalau berbicara gaji presiden, berdasarkan aturan, tiga kali gaji pejabat lembaga tinggi negara.
Ketika gaji presiden naik, maka pejabat lain juga naik; menteri, DPR, gubernur, wali kota, dan bupati. Jadi tidak hanya 8.000 yang akan naik. Ada 15.000 anggota DPR dan DPRD yang juga akan naik. Karena menurut Peraturan Pemerintah (PP) No 37 (tahun 2006) tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan DPRD, jika gaji pejabat naik, DPRD juga akan naik.
Implikasinya jelas, banyak daerah yang defisit karena 50 persen APBD-nya habis untuk belanja pegawai. Ketika gaji naik, APBD akan mati. Banyak daerah akan bangkrut untuk membiayai pejabatnya. Implikasi beban ini yang harus dipikirkan.
Harus realistislah, jangan yang dipikirkan pegawai birokrasi saja, tapi rakyat tidak dipikirkan. Kalau presiden itu sebagai pemimpin bangsa, seharusnya bukan mementingkan birokrasi, tapi lebih mementingkan masyarakat.
Jika dilihat dari aspek pengurangan terhadap pos atau mata anggaran yang lain bagaimana?
Kalau (anggaran) pendidikan tidak akan berkurang. Tetapi belanja lain, penanggulangan kemiskinan, kesehatan yang akan berkurang. Belanja fungsi kesehatan yang di dalamnya ada belanja pelayanan kesehatan, itu justru turun dari Rp 19 triliun menjadi Rp 13 triliun.
Tapi semua akan berpengaruh, termasuk belanja modal dan infrastruktur. Karena, ketika belanja naik, pendapatan kita tidak meningkat.
Dari pernyataan Anda, belanja kesehatan sepertinya sangat terpengaruh, bisa dijelaskan?
Berdasarkan Undang-Undang Kesehatan, APBN harus menganggarkan belanja kesehatan sebanyak 5 persen, yang saat ini masih 2 persen saja. Bandingkan dengan Filipina, belanja kesehatannya sudah 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), sedangkan Indonesia yang angka kematian ibunya lebih tinggi masih 1 persen dari PDB. Dalam APBN 2011 ini belanja kesehatan justru berkurang sampai Rp 6,1 Triliun.
Hal ini tentu bertentangan dengan semangat reformasi birokrasi. Semangat kita kan ingin efisien dari struktur dan biaya. Kalau gaji pejabat naik, kita sama saja membayar ongkos tukang lebih besar dari ongkos pekerjaannya.
Melihat ketimpangan seperti itu, apakah ada yang salah dari sisi hukumnya?
Kita merencanakan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Usulan (APBN) ini bertentangan dengan konstitusi Pasal 23 ayat (1) bahwa APBN sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Tapi yang terjadi justru untuk kemakmuran pejabat dan birokarsinya.
Negara ini harusnya punya skema APBN yang sesuai dengan konstitusi. Itu yang ingin kita dorong. Sebab saat ini APBN itu hanya ritual tahunan, dampaknya kepada masyarakat lambat.
Apa yang akan disampaikan dalam uji materi itu?
Kita akan sampaikan, misalnya, belanja pegawai dan implikasinya terhadap daerah. Kalau ini (belanja pegawai semakin tinggi) dilakukan, maka APBD akan semakin berat. Saat ini saja APBN sudah banyak untuk urusan pegawai dan perjalanan dinas.
Kita sudah identifikasi belanja perjalanan dinas. Dalam APBN 2011 belanja perjalanan dinas naik dari Rp 19,5 triliun ke Rp 24,5 triliun. Naiknya hampir Rp 5 triliun. Lalu belanja bunga utang kita, naik dari Rp 105 triliun ke Rp 115 triliun. Sementara subsidi belanja bantuan sosial mengalami penuruan termasuk belanja fungsi kesehatan, yang di sana ada jamkesmas. Lalu penurunan subsidi yang di sana ada susbsidi pangan berupa raskin dan subsidi pupuk.
Kita juga pernah mengajukan uji materi terhadap APBN Perubahan 2010. Namun, baru dua kali diadakan sidang dan belum ada putusan. Kita sebenarnya berharap MK juga punya mekanisme untuk melakukan sidang dengan tenggat waktu yang cepat terhadap uji materi aturan. Seperti gugatan kami itu, aturan APBN Perubahannya sudah berlaku bahkan sekarang sudah selesai.
Saat ini kami akan mengajukan lagi gugatan untuk APBN 2011. Kita sedang menyiapkan gugataan. Akan kami masukan pada akhir Februari atau awal Maret. Tapi kita ingin MK bisa menyidangkan ini dengan cepat.
Selain judicial review, langkah apalagi yang akan diambil?
Sebenarnya sebelum ditetapkan APBN, kita beberapa kali ke DPR untuk memberikan masukan. Mulai dari bagaimana menyusun APBN, potensi pemborosan dan lain-lain. Tapi ketika APBN sudah diundangkan, akan sulit. Jadi kita berharap dari uji materi saja untuk bisa merubahnya.
Selain itu, kita akan men-tracking belanja di seluruh kementerian dan lembaga. Lebih banyak mana, birokrasi atau rakyat.