REPUBLIKA.CO.ID, MADIUN - Mahasiswa asal Indonesia yang masih bertahan di Mesir mengaku kesulitan mengakses Kedutaan Besar RI (KBRI) di Kairo. "Kami berkali-kali mencoba mengonfirmasi prosedur evakuasi WNI di Mesir melalui layanan 'hotline' KBRI di nomor +20227947200, tapi tak pernah diangkat. Sementara, kami tidak dapat keluar dari flat atau apartemen karena jalan-jalan telah diblokir," ujar salah satu mahasiswa Universitas Al Azhar asal Kota Madiun, Jawa Timur, Yovi Saddan, melalui pesan "Facebook" yang dikirim ke ANTARA, Jumat (4/2).
Menurut dia, dalam situasi Mesir yang terus bergolak, Yovi dan kawan-kawannya memilih diam di dalam flat atau apartemen. Mereka memantau perkembangan di luar melalui siaran di televisi. Selain itu, pemberlakuan jam malam oleh Pemerintah Mesir juga diajukan menjadi pukul 16.00 waktu setempat, setelah sebelumnya diberlakukan pada pukul 18.00 waktu setempat.
"Kami tidak tahu apa yang membuat 'hotline' KBRI susah diakses. Padahal kami mendapat informasi bahwa WNI di Mesir diminta aktif berkomunikasi dengan KBRI untuk melancarkan upaya evakuasi WNI dari lokasi konflik," ujar Yovi dalam pesannya.
Ia menilai, sulitnya akses ke KBRI akan berdampak pada proses evakuasi WNI dari Mesir. Apalagi, proses administrasi evakuasi membutuhkan waktu satu hari, hal ini semakin membuat evakuasi WNI memakan waktu yang lama. Hal yang sama diungkapkan oleh Ahda Sabila (25), mahasiswa Universitas Al Azhar asal Kota Madiun lainnya. Ia mengaku telah masuk dalam daftar tunggu pemulangan ke Tanah Air, namun kabar kepulangannya ke Indonesia masih simpang siur.
"Pendataan dilakukan melalui kelompok kekeluargaan masing-masing. Saya sendiri sudah mendaftar dan didata mendapat nomer 'waiting list' kloter 101. Memang saat ini evakuasi diprioritaskan untuk wanita dan anak-anak dahulu," tutur Ahda dalam pesannya di 'facebook'.
Ia mengaku belum mengetahui kepastian waktu pulang ke Tanah Air. Sebab untuk kepastiannya, pihaknya masih menunggu telepon dari bagian pendataan. Selain itu, tempat penampungan di KBRI tidak mencukupi untuk ditempati sebanyak 6.000 WNI secara langsung.
Ahda dan Yovi merupakan teman sekolah sejak Madrasah Ibtidaiyah. Sejak 1999, keduanya melanjutkan pendidikan 'Kulliyatul Mu'allimin/Muallimat Islamiyah' (KMI) setingkat SMP dan SMA di Pondok Modern Darussalam, Gontor, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Tahun 2006, mereka melanjutkan studi melanjutkan S-1 jurusan Tafsir, Fakultas Ushuluddin, Universitas Al Azhar, Kairo.
Kedua mahasiswa asal Kota Madiun dan ribuan WNI lainnya berharap agar Pemerintah Indonesia menambah jumlah pesawat untuk evakuasi warga secepatnya. Pasalnya, selain krisis makanan dan uang tunai, WNI yang saat ini masih bertahan juga terancam keselamatan dan keamanannya di tengah gejolak politik yang terjadi di Mesir saat ini.