REPUBLIKA.CO.ID, GAZA--Demi mempertahankan hidup dalam kondisi terjepit oleh blokade Israel yang tak kenal ampun Israel, sekelompok perempuan Palestina membuat terobosan baru di Jalur Gaza dengan bekerja sebagai penggali parit untuk menghidupi keluarga mereka. Kekuatan perempuan Palestina tidak perlu dipertanyakan lagi.
Sebanyak 300 perempuan, menurut Reuters, telah menandatangani kontrak untuk menggali tempat penampungan air di pertanian Jalur Gaza. Proyek itu diselenggarakan dan didanai oleh organisasi internasional Union of Agriculture Work Committees, kata beberapa pejabat (UAWC), Kamis (29/7).
Kendati perempuan Jalur Gaza secara tradisonal telah bekerja di ladang keluarga, yakni mengambil sayuran dan memetik buah, namun kali mereka harus menggunakan sekop untuk melakukan pekerjaan yang biasanya hanya dilakukan oleh kaum pria di kantung konservatif tersebut. Di wilayah yang dikuasai HAMAS itu, angka pengangguran mencapai 60 persen.
Najah Al-Farra, seorang ibu yang tinggal di sana mengatakan, dia menjadi penggali parit untuk menghidupi 10 anaknya, setelah suaminya meninggalkan dia. "Saya bekerja sebab kondisi sangat sulit. Saya memperoleh 1.200 shekel (318 dolar AS) untuk setiap 20 hari kerja," katanya.
Mohammed Al-Bakri, Direktur Pelaksana UAWC, mengatakan, organisasi itu bertujuan memberi perempuan kesempatan yang sama di dalam proyek padat karya di Jalur Gaza, wilayah Palestina yang berpenduduk padat. "Kami mulanya khawatir tapi perempuan terbukti cekatan dalam melaksanakan pekerjaan," kata Al-Bakri tentang perempuan penggali parit tersebut.
Di lapangan, di bawah sengatan sinar Matahari, seorang perempuan yang hanya mengaku dipanggil Hanan mengatakan pekerjaan kasar bisa berarti melanggar kebiasaan di Jalur Gaza, tapi perhatiannya lebih tertuju untuk menunjang empat anaknya. "Aku siap untuk memasang ubin di laut demi mencari nafkah buat anak-anakku," kata Hanan, orang tua tunggal.
Perjuangan telah menyertai perjalanan hidup perempuan Palestina, bukan hanya sekarang, tapi sejak berdirinya negara Yahudi. Pada 1921, wanita Palestina mendirikan Persatuan Wanita Palestina untuk menghadapi gerakan zionisme dan rezim imperialis Inggris.
Sejak masa itu, perempuan Palestina membantu dan menggalakkan perjuangan dan jihad. Salah satunya adalah dalam era kebangkitan bersenjata yang dipimpin oleh Izzuddin Qassam, 1930 hingga 1935.
Hingga kini, perempuan Palestina memainkan peran penting dalam mendorong kaum pria untuk berjihad dan meneruskan perjuangan mereka. Pada 1936, perempuan Palestina turut berjuang secara langsung berhadapan dengan kaum zionis yang bersenjata. Mereka berjuang untuk mendapatkan hak-hak mereka sebagai bangsa Palestina.
Fatimah Ghazalah, seorang perempuan Palestina, dilaporkan tampil sebagai perempuan pertama yang syahid pada tahun itu. Selanjutnya banyak perempuan Palestina menjadi korban dalam serangkaian pembunuhan massal.
Mereka juga harus memikul tanggung jawab untuk merawat korban luka dan menjaga keluarga dan anak-anak yatim. Setelah berdirinya PLO pada 1964, Perempuan Palestina melanjutkan aktivitas mereka sebagai anggota aktif dalam organisasi itu.
Pada 1987, ketika Intifadah (perlawanan) pertama meletus di bumi pendudukan, dunia tertarik dengan peran aktif wanita Palestina dalam perjuangan melawan rezim pendudukan zionis. Perempuan berjalan seiring dengan suami dan anak-anak mereka dan turut hadir di medan tempur melawan tentera rezim zionis.
Partisipasi perempuan Palestina dalam Intifadah memperkuat gelora perjuangan itu sebab kehadiran mereka di medan tempur memotivasi semangat perjuangan. Kini, pada saat derita mendera akibat blokade panjang rezim Yahudi, mereka kembali menyingsingkan lengan baju dan melakukan pekerjaan kasar demi menghidupi anak-anak mereka.