REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA-–Penanganan kemacetan lewat pembatasan penggunaan kendaraan melalui Electronic Road Pricing (ERP) belum juga bisa terealisasi. Padahal, ERP atau pembatasan mobil dengan sistem berbayar semakin mendesak. Alasannya, hingga saat ini masih terkendala payung hukum dari Kementerian Keuangan dan Kementerian Perhubungan.
Pembatasan lewat ERP ini merupakan kewenangan pusat. Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) DKI, Udar Pristono mengatakan, sampai saat ini pihaknya masih menunggu payung hukum penerapan ERP yang rencananya akan dilakukan di kawasan yang sebelumnya diberlakukan three ini one. ERP memerlukan pengesahan peraturan pemerintah yang nantinya berlaku untuk seluruh Indonesia. Sudah ada kesepakatan untuk menerapkan hal tersebut.
Hanya saja, prosesnya yang tidak sederhana.Dinas Perhubungan DKI Jakarta secara teknis mengaku sudah siap dan sudah melakukan kajian. “Tetapi kami masih menunggu keputusan Kementrian Perhubungan (Kemenhub),” kata Pristono, Senin (22/11).
Selain itu, Dishub juga masih menunggu proses legalitas di Kementerian Keuangan terkait beban pajak yang akan dikenakan pada kendaraan yang melintasi ruas jalan tertentu. Ia berharap payung hukumnya segera diterbitkan.Apalagi semakin berkembangnya konsumsi kendaraan, maka keterdesakan implementasi ERP dirasa semakin darurat untuk dijalankan. Upaya apapun yang dikerjakan dalam upaya mengurangi kemacetan tidak akan efektif tanpa kebijakan mengurangi jumlah penggunaan kendaraan.
Semua komponen perlu dipertimbangkan untuk mengatasi kemacetan. Tapi pada prinsipnya, selama jumlah kendaraan terus bertambah, maka akan semakin sulit mengurai kemacetan.Direktur Eksekutif Masyarakat Pemantau Kebijakan Eksekutif Legislatif (Majelis), Sugiyanto, menyatakan belum diterbitkannya payung hukum untuk ERP menandakan ketidakseriusan pemerintah pusat.
Menurutnya, butuh terobosan untuk menangani kemacetan Jakarta. “Kalau semua penanganan kebijakan selalu terkendala pemerintah pusat, prediksi macet total pada 2014 bakal benar-benar terjadi,” ujar Sugiyanto.
Sugiyanto berharap Pemprov DKI tidak lupa menyediakan angkutan massal. Sebab, jika ERP diterapkan, angkutan masal akan menjadi alternatif pengganti kendaraan pribadi di tengah kemacetan. “ERP dulu digagas bisa diterapkan bersamaan dengan tersedianya angkutan massal. Yakni busway, monorel dan MRT,” tambahnya.
Asisten Perekonomian dan Administrasi Setda DKI Jakarta, Hasan Basri, mengatakan pemberlakuan ERP akan segera dilakukan jika pelayanan transportasi telah memadai. Sehingga perpindahan warga pengguna kendaraan pribadi ke angkutan umum dapat terlayani.
Menurutnya, pemberlakukan ERP tidak bisa dilakukan jika angkutan umumnya masih tidak bagus. “Itu sudah satu paket program namanya transport demand management,” kata Hasan.ERP adalah bentuk program pembatasan kendaraan pengganti sistem 3 in 1 untuk mengurangi kemacetan.
Mekanismenya adalah setiap kendaraan yang melintasi suatu ruas jalan diminta untuk membayar dengan harga tertentu. Nantinya perolehan retribusi akan digunakan untuk perbaikan jalan dan pembenahan moda angkutan massal yang ada seperti busway.Skema pemberlakukan ERP yang selesai dikaji oleh DKI terbagi menjadi 3 bentuk skema.
Pertama mekanisme ERP dengan membangun gerbang yang dapat mengurangi deposit uang ditiap kendaraan. Kedua pemberlakuan ERP dengan cara tradisional yaitu pengawasan dari petugas di lapangan. Ketiga pemberlakuan ERP dengan menggunakan kamera, sehingga kamera tersebut data menyimpan data sang pelanggar.