SIDOARJO--Jauh sebelum ada fatwa rokok haram, ratusan pabrik rokok di wilayah Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, sudah gulung tikar. Sesuai catatan kantor Diskoperindag dan ESDM Pemkab Sidoarjo, dari semula 201 pabrik rokok, pada medio Juli 2009 lalu tinggal 81 pabrik rokok.
Penyebabnya beragam yakni dampak dari regulasi pemerintah dengan kebijakannya menaikkan cukai cengkeh, persaingan antarpabrik rokok, dan bencana lumpur lapindo.
''Namun dampak yang paling utama adalah akibat deregulasi pemerintah itu. Jadi bukan karena adanya fatwa haram sekarang,'' kata Kepala Diskoperindag dan ESDM, Maksum didampingi Kasijono, staf bidang perdagangan, Senin (5/4).
Maksum mengakui, akibat regulasi pemerintah dengan menaikkan cukai rokok pada 2009 tersebut banyak pabrik rokok, khususnya kelas kecil yang gulung tikar. Sebab, mereka tidak kuat membeli cukai yang ditetapkan pemerintah. ''Karena tidak kuat membeli cukai itu, banyak pabrik rokok memilih berhenti berproduksi,'' ujarnya seraya menyebutkan jika pabrik rokok di Sidoarjo rata-rata kelas kecil.
Selain akibat deregulasi pemerintah, imbuh Maksum, rontoknya pabrik rokok di Sidoarjo juga merupakan dampak bencana semburan lumpur Lapindo. Akibat luapan lumpur Lapindo ini terdapat sembilan pabrik rokok di Porong hingga kini terpaksa harus tutup, karena pabriknya tergenangi luapan lumpur. Pabrik rokok yang tutup akibat semburan lumpur itu di antaranya PR Engsel, Jangkar Mas Makmur, Cengkir, dan PR HS Mitra.
''Sekitar sembilan pabrik rokok yang tutup akibat Lapindo. Dan hanya satu, yakni PR Cengkir yang sudah beroperasi dengan mendirikan pabrik di lain tempat,'' papar Kasijono. Namun, imbuhnya, sejumlah pabrik rokok kini berupaya mengalihkan usahanya seperti membuat pupuk organik dan pabrik lainnya di luar usaha rokok.
''Para pengusaha rokok sepertinya sudah pesimistis dengan usaha rokok. Selain banyak usaha serupa juga harga cukai rokok dari tahun ke tahun naik. Oleh karena itu di antara mereka ada yang membuat pupuk, bukan rokok lagi,'' ungkapnya.
Sementara dengan tumbangnya ratusan pabrik rokok ini, maka sekitar 1000 tenaga kerja
buruh linting rokok kini menjadi pengangguran. Angka tersebut jika dihitung dengan masing-masing pabrik rokok minimal mempekerjakan sekitar 100 orang. Padahal, tak jarang pabrik rokok di Sidoarjo ada yang telah mempergunakan tenaga kerja sekitar 100
orang lebih.
Untuk menangggulangi angka pengangguran ini, Pemkab Sidoarjo berencana memberikan pelatihan kepada mantan buruh linting rokok ini. Seperti memberikan pelatihan jahit-menjahit, bengkel, dan pembuatan tas dan sepatu kulit. ''Ini rencana kita pada tahun 2010 ini terhadap mantan buruh rokok,'' jelas Kasijono, seraya menyebutkan dananya selain dari APBD juga dari dana dari pusat yakni dana alokasi cukai.