MAGELANG--Akibat tidak mampu bersaing dengan harga bawang putih impor, petani bawang di Magelang bangkrut. Para petani mengaku tak memiliki semangat lagi menanam komoditas tersebut. Mereka lebih memilih komoditas sayuran lain seperti kol, daun bawang (oncang) atau kentang.
'’Setiap musim panen tiba, kita tidak mampu bersaing dengan harga bawang putih impor yang lebih murah, kita harus banting harga dan merugi,’’ keluh Waliyadi (54), petani bawang di Desa Sukomakmur, Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang kepada Republika, Jumat (30/4).
Desa Sukomakmur merupakan sentra bawang putih terbesar di lereng Sumbing bagian selatan. Selain tidak mampu bersaing dengan bawang impor, semakin mahalnya biaya tanam membuat petani kian enggan kembali menanam komoditas yang semula mampu memberi pendapatan cukup tinggi bagi petani tersebut. Waliyadi menggambarkan, tahun 1997, luasan area bawang putih di Kajoran mencapai 600 hektare.
Namun, sekarang lahan itu tinggal lima hektare saja atau merosot 99 persen. ‘’Merosotnya luasan areal bawang putih di daerah ini, tidak terjadi begitu saja, namun berlangsung secara perlahan-lahan, petani berusaha bertahan, namun makin lama makin tidak mampu bersaing dengan bawang impor,’’ jelas Waliyadi.
Untuk biaya tanam bawang putih saat ini terbilang mahal, apalagi dengan terjadinya kenaikan harga pupuk dan obat-obatan. Untuk satu hektare lahan bawang membutuhkan biaya tanam sekitar empat juta. Pada saat biaya produksi hanya Rp 400 ribu per hektare, sekitar sepuluh tahun lalu, harga bawang putih basah bisa mencapai Rp 3.500 hingga Rp 4.000 per kilogram dan harga bawang kering bisa mencapai Rp 10 ribu per kilogram.
Sekarang, kata Walyadi, dengan biaya sepuluh kali lipat, harga jual tetap sama. ‘’Biaya produksi sudah naik sepuluh kali lipat, tapi harga jual terbilang sama, kami tidak bisa menaikkan harga kalau harga bawang impor segitu,’’ katanya.