REPUBLIKA.CO.ID, TASIKMALAYA--Dulu, orang di kampungnya cuma memanggil dia dengan sapaan Aef, karena memang begitu pula kalangan keluarganya menyapa orang yang kini terkenal sebagai ahli pertanian organik itu. Tapi, sejak dia sukses mengembangkan pertanian organik di lahan dangkal (deet, begitu orang Sunda menyebutnya), pada 1990-an, terkenalah sebutan nama Aef Deet di seantero Tasikmalaya dan sekitarnya.
Ketenaran pria kelahiran 1966 itu sebagai ahli pertanian organik boleh dibilang terus tersiar melewati Bumi Parahyangan. Banyak orang, baik sendiri-sendiri maupun berkelompok, datang berguru kepada petani itu.
Menurut sejumlah orang yang mengenalnya di Tasikmalaya, dari tahun ke tahun Aef terus mengembangkan pertanian organik itu sambil berharap ada perhatian dari pemerintah.
Tapi, ketenaran nama petani asal Desa Sukapada, Kecamatan Pagerageung, Tasikmalaya, sebagai pelopor teknik sistem penanaman padi organik dangkal itu tidak kunjung memperbaiki kehidupan ekonomi keluarganya. Hingga, datanglah sejumlah orang dari Serikat Sunnah Tani dari Kelantan, Malaysia, menemui Aef, beberapa tahun lalu, yang ternyata bukan hanya untuk berguru, tapi menawarkan perbaikan ekonomi bagi pria itu.
Setahun lalu, pergilah dia merantau ke Malaysia. Bukan sebagai buruh kasar tentunya, karena orang-orang Malaysia itu rupanya tertarik pada keahlian yang dimiliki Aef."Saya senang bekerja di Malaysia," kata Aef, ketika kembali ke kampung halamannya, setahun setelah dia ke Malaysia.
Pada kunjungannya kali itu, dia juga membawa sejumlah orang Malaysia.
Aef mengantar tiga orang, yakni Direktur Serikat Sunnah Tani H Muhammad Nuri, kepala marketing H Julemi, bagian keuangan H Alyas, untuk bertemu dengan ketua gabungan kelompok tani padi organik Tasikmalaya Uu Syaeful Bachri.
Pada akhir pekan minggu pertama Juli itu, mereka juga melihat proses pertanian organik di Tasik.
Di sela-sela kegiatan itu, Aef menyatakan kebanggaannya hidup di Malaysia. Dia menyatakan, pilihannya menjadi petani dan mengabdikan ilmunya di Kelantan, sebagai sesuatu yang lebih baik dibandingkan ketika dia melakukan hal yang sama di tanah kelahirannya sendiri.
"Saya mendapatkan materi yang cukup besar dan fasilitas memadai hingga saya merasa terjamin," katanya. Menurut dia, berkat pilihannya itu, dia mengaku keluarganya ikut sejahtera.
Baru setahun Aef di Malaysia, dia mengaku mampu mengubah kehidupan ekonomi keluarganya menjadi lebih baik. Bahkan dia dia bisa mengumpulkan dana untuk menunaikan ibadah haji.
Menurut Aef, selain menjadi petani dan menggarap sawah padi di negeri jiran itu, dia juga memberikan pelatihan cara penanaman padi organik kepada petani di Malaysia.
Dari hasil mengajar pelatihan sistem penanaman padi itu, ia mendapatkan gaji cukup besar dari pemerintah Malaysia hingga mampu membangun rumah di kampung halamannya menjadi layak huni.
Menurut Aef, ada enam petani Indonesia yang yang bekerja dan memberikan pelatihan tentang pertanian di sana, yang datang ke Kelantan dibawa oleh Serikat Sunnah Tani. "Saya dan yang lainnya diberi gaji sebesar Rp 12 juta per bulan," kata Aef dengan nada bicara bangga.
Menurut dia, kepergiannya ke Malaysia memang untuk mencari perubahan ekonomi agar dapat menyejahterakan keluarganya.
Selama di Malaysia, menurut Aef, segala ilmu dan jasa-jasanya sebagai petani lebih dihargai. Penghargaan itu berupa sejumlah fasilitas pertanian maupun kesejahteraan ekonomi. "Buruh tani di sini sulit sejahtera karena yang dibayar hanyalah tenaganya bukan dilihat dari ilmu atau jasanya," katanya.
Sementara itu, Ketua Agribisnis Tasikmalaya Wawan mengatakan, kepergian petani terbaik asal Kabupaten Tasikmalaya itu ke negara Malaysia menjadi boomerang bagi pertanian di Indonesia.
Dinilai dari jangka pendeknya, menurut dia, sepertinya tidak ada kerugian apa-apa. "Kepergian Aef justru seperti hanya memberikan keuntungan bagi buruh tani yang mengabdikan dirinya di Malaysia hingga mendapatkan kesejahteraan yang cukup besar," katanya.
Padahal, kata dia, kepergian Aef, dan sejumlah petani lain yang memiliki keahlian itu, memiliki dampak negatif tersembunyi bagi perkembangan pertaian di dalam negeri. "Bisa saja terjadi lama-lama Malaysia akan mencuri teknologi penanaman padi organik di Tasikmalaya. Lalu, jika selama ini Malaysia mendatangkan beras dari Tasikmalaya, maka lama-lama nanti bisa jadi sebaliknya," kata Wawan.