REPUBLIKA.CO.ID, KUTA–-Potensi pendapatan negara di Bali dari sektor pajak hotel dan restoran (PHR) masih sangat besar. Saat ini, PHR di Bali baru menyumbang 10 persen dari total pendapatan negara dari sektor pajak di daerah pariwisata itu.
“Padahal kita tahu, hotel dan restoran di Bali sangat banyak. Mereka bisa menyumbang pendapatan bagi negara lebih besar lagi,” kata Kakanwil Pajak Bali, Zulfikar Thahar, di Kuta, Bali, Kamis (5/8).
Hal itu dikemukakan Zulfikar di sela-sela acara Pertemuan Govermental Accounting Standard-Setters Meeting tingkat ASEAN. Pertemuan dua hari itu membahas standardisasi akuntansi bagi sektor pajak, dengan tujuan menekan praktik korupsi di pemerintahan.
Ia menjelaskan pajak sektor PHR masih sangat besar karena saat ini banyak vila dan restoran di Bali yang belum melaporkan pajaknya. Mereka kebanyakan milik warga negara asing yang memegang keterangan izin menetap sementara (kitas) di Bali.
“Untuk apa di tinggal di Bali dengan kitas kalau bukan berusaha,” katanya. Hingga saat ini petugas pajak masih kesulitan mengungkap kegiatan usaha orang asing itu di Bali karena mereka melakukan usahanya menggunakan data elektronik. Sementara, sesuai UU, data elektronik tidak bisa dijadikan alat bukti untuk mengungkap kasus pajak.
Orang asing di Bali, memasarkan bisnis hotelnya lewat internet, pemesanan kamar juga dilakukan di internet dan pembayarannya pun dilakukan dengan kartu kredit melalui internet. “Jadi kami masih belum bisa mengungkap berapa besar pajak yang tak dibayarkan warga asing itu.”
Dalam hal kasus tunggakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), menurut Zulfikar, Bali memiliki catatan khusus, bahkan diusulkan agar PBB di daerah itu dihapuskan saja. Adapun alasan masyarakat Bali enggan membayar PBB karena penetapan nilai jual objek pajak (NJOP) yang dinilai tidak sesuai. Misalnya, tanah sawah produktif dikenakan pajak sebagai tanah untuk kawasan industri perhotelan, lantaran ada bangunan hotel disebelahnya.
Berbeda dengan daerah lainnya, kata Zulfikar, sektor PBB di Bali bukan penyumbang pajak unggulan. Sebaliknya urutan terbesar adalah pajak dari jasa perbankan (14 persen), pajak pedagang besar pendukung kegiatan pariwisata (12 persen), hotel dan restoran (10 persen), disusul adminstrasi pemerintah (8 persen).