REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Pengamat politik Reform Institute, Yudi Latief, mengatakan, pemilihan kepala daerah langsung di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tidak cocok dilakukan dalam sistematika kekeluargaan, terlebih Yogyakarta memiliki keistimewaan.
"Bisa saja pemerintah memberikan hak kekhususan (veto) kepada Sri Sultan Hamengku Buwono X, bila pemerintah tidak menginginkan Sri Sultan sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta," katanya dalam Diskusi Publik 'Monarki Versus Demokrasi' yang digelar Pimpinan Pusat Persaudaraan Muslimin Indonesia (Permusi), di Jakarta, Jumat.
Menurut Yudi, kalangan DPRD Yogyakarta bisa saja mengajukan nama-nama calon yang akan menjadi kepala daerah, kemudian ditetapkan oleh Sri Sultan atau sebaliknya Sri Sultan mengajukan nama calon kepala daerah, kemudian ditetapkan oleh DPRD setempat.
"Itu merfupakan pilihan, tinggal mana yang akan diambil oleh pemerintah," katanya.
Ia menegaskan, tidak dilaksanakannya pilkada langsung di Yogyakarta tidak melanggar konstitusi karena tidak ada kewajiban konstitusional.
"Yogyakarta memiliki keistimewaan, sehingga Sultan bisa langsung menjadi Gubernur," katanya.
Menurut dia, Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18B telah mengatur tentang pemerintah daerah yang mempunyai kekhususan dan keistimewaan sendiri. Dalam ayat 1 pasal 18B disebutkan negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur undang-undang.
Selain itu ayat 2 menyebutkan Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan pemerintah masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Dengan demikian, menurut dia, keistimewaan Yogyakarta merupakan bagian keniscayaan sejarah sesuai dengan dasar hukum negara yang ada saat ini. Ia juga menyayangkan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa waktu lalu yang menyebutkan monarki di Yogyakarta karena Sri Sultan dan rakyat Yogyakarta merupakan orang yang demokratis. "Sebelum merilis pernyataan di media massa, seharusnya Presiden SBY dan Sri Sultan duduk bersama untuk membahas permasalahan RUU Keistimewaan Yogyakarta," katanya.
Ketika ditanya, apakah perlu secepatnya menyelesaikan RUU Keistimewaan Yogyakarta, tambah Yudi, pembahasan itu tidak pada situasi yang genting, namun hanya dikaitkan dengan masa berakhirnya masa jabatan Sri Sultan sebagai Gubernur pada 2011 nanti. "Pemerintah dan DPR harus mencari solusi yang terbaik bagi Yogyakarta," katanya.