REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam sidang Paripurna ke 13, Kamis (9/7), Komite III DPD RI membahas pelaksanaan Undang-Undang no 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Luar Negeri. Pengawasan perlu dilakukan karena sesuai amanat Undang-Undang Dasar (UUD), hak atas pekerjaan dan imbalan yang layak bagi kehidupan, wajib dijamin pemenuhannya oleh negara.
Berdasarkan hasil pengawasan, DPD RI menemukan kasus yang selalu dialami para TKI. "Seperti pelanggaran perjanjian kerja, gaji tak dibayar, penganiayaan, perdagangan orang, dan sebagainya," tutur Ketua Komite III DPD RI Hardi Selamat Hood.
Saat sidang, Hardi juga memaparkan data terkait dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Data tersebut menunjukan, hingga 2015, jumlah TKI yang bekerja di luar negeri mencapai 6,5 juta orang, baik sektor formal maupun informal. Jumlah tersebut menyumbang devisa sekitar 4 miliar hingga 7 miliar dolar.
"Namun demikian, jumlah devisa yang meningkat, tidak selalu selaras dengan nasib TKI di negara penempatan," ucap Hardi.
Tapi, lanjut Hardi, DPD RI telah menemukan faktor pencetus permasalahan TKI. Pertama, ketentuan dalam Undang-Undang (UU) Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri (PPTKILN) yang lemah dari dimensi perlindungan terhadap TKI di sana. Kedua, inkonsistensi penegakkan UU PPTKILN di pemangku kepentingan.
"Kedua hal di atas mendorong DPD RI untuk berpartisipasi sebagai representasi masyarakat dan daerah," ungkap Hardi. Selain itu, DPD RI juga akan menginsisiasi revisi UU PPTKIL, yang akan mengatur hak anggota keluarga, optimalisasi peran BNP2TKI dalam perlindungan, dan pembentukan kantor cabang di daerah perekrutan.