REPUBLIKA.CO.ID, NOTTINGHAM -- Melihat orang lain menguap ternyata bisa menyebabkan Anda ikut untuk menguap. Hal ini dibuktikan dengan hasil studi yang dilakukan sekelompok peneliti dari Universitas Nottingham, Inggris. Penyebab dari fenomena ini pun diklaim dapat menjadi sarana untuk pengobatan sejumlah gangguan saraf dan psikologis.
Penelitian menunjukkan, keinginan menguap usai melihat orang lain menguap ini dipicu secara otomatis oleh refleks primitif di area otak, yang mengatur fungsi motorik. Menguap usai melihat orang lain menguap ini merupakan contoh umum dari echophenomena, gerakan refleks meniru atau mengimitasi aktivitas atau kata-kata orang lain. Echolalia untuk meniru kata-kata dan Echopraxia untuk meniru tindakan. Echophemonena ini tidak hanya terjadi di manusia, tetapi juga ditemukan di anjing dan simpanse.
Bahkan, keinginan untuk menguap ini akan lebih kuat, saat Anda mencoba menahan diri untuk tidak menguap usai melihat orang lain menguap. Kondisi itu mungkin akan mengubah cara Anda menguap, tapi tidak akan mengurangi keinginan Anda menguap.
''Dorongan untuk menguap justru akan meningkat jika Anda menahan diri untuk tidak menguap. Dengan menggunakan simulasi listrik, kami dapat melihat peningkatan keinginan atau gairah, sehingga meningkatkan untuk 'penularan' menguap,'' tutur Profesor asal Universitas Nottingham, Georgina Jackson, seperti dikutip dari The Indian Express.
Studi ini sebelumnya telah dipublikasikan di jurnal ilmiah, Current Biology. Tim peneliti menggunakan Trancranial Magnetic Stimulation (TMS) untuk menganalisa relawan, yang telah melihat video orang menguap, dan diinstruksikan menahan diri untuk ikut menguap.
''Jika kami bisa memahami bagaimana perubahan rangsangan dari kortikal bisa memberikan efek kepada rangsangan motoris, maka kemungkinan besar kami bisa membalikan proses tersebut. Kami tengah mencari potensi perawatan non-obat. Menggunakan TMS, kami bisa menganalisa ketidakseimbangan modulasi di dalam jaringan otak,'' tutur Jackson.
Sementara rekan Jackson, Stephen Jackson, temuan dalam penelitian dapat menjadi langkah yang penting untuk bisa memahami lebih jauh tentang hubungan antara rangsangan motorik dengan Echophenomena dalam berbagai kondisi. ''Selain itu, terkait hubungannya dengan peningkatan rangsangan dari korteks terhadap kondisi fisiologis tertentu, seperti epilepsi, dementia, autis, dan sindrom Tourette,'' tutur Stephen.