REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan sejumlah saksi dalam sidang pertambangan ilegal yang berbuntut meninggalnya aktivis antitambang Salim Kancil di Desa Selok Awar-Awar, Pasirian, Lumajang pada Kamis (25/2). Diantaranya anggota Kepolisian Resort Lumajang, Pembeli Pasir, Jajaran PNS Kecamatan Lumajang dan Operator Tambang.
Selain itu, dalam persidangan dengan tiga berkas perkara illegal mining tersebut, dihadirkan juga 10 terdakwa, dimana salah satunya adalah Mantan Kepala Desa, Haryono.
Penyidik Unit Pidsus Polres Lumajang, M Hasan Basri mengaku tidak mengetahui adanya pertambangan yang dimotori oleh Haryono. Namun, hakim mencecarnya dengan pertanyaan. "Kalau tidak tahu, lalu Polres kemana? Kalau polres tahu tentu tidak akan ada kasus Salim Kancil, Tosan itu," kata Hakim Anggota, Erfan Basuning menimpali.
Menurut pengakuan Hasan, Polres Lumajang mengetahui adanya pertambangan pasir di Selok Awar-Awar pada November. Setelah itu mereka langsung melakukan penyelidikan. Hasan mengungkapkan, dari 6 pertambangan yang berada di Kabupaten Lumajang, hanya di Pasirian yang tidak memiliki izin.
Sementara itu, JPU menunjukan barang bukti berupa karcis masuk kawasan pertambangan. Karcis tersebut bertuliska desa wisata. Menurut Uliyanto, pembeli pasir yang juga hadir sebagai saki, karcis tersebut diberikan oleh penjaga portal yang terletak tak jauh dari kantor kepala desa Selok Awar-Awar.
Menurut dia, sebelum masuk kawasan pertambangan, sopir truk harus membayar terlebih dulu uang karcis sebesar Rp 25 ribu. Sementara untuk pembelian pasir Rp 270 ribu per truk. Setelah itu, petugas portal baru memperbolehkan untuk mengangkut pasir. Hal itu pun dibenarkan 5 petugas portal yang juga menjadi terdakwa dalam persidangan.