REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Geolog dari LIPI Mudrik Daryono kurang sependapat dengan wacana Kota Palu Baru. Karena menurut dia yang perlu ditekankan dalam merekonstruksi wilayah Sulawesi Tengah (Sulteng) yang terdampak bencana adalah perhitungan detail potensi bencana serta tata kelola bangunan yang ramah gempa.
"Terkait Kota Palu Baru itu maksudnya berpindah sejauh di luar Provinsi atau bagaimana? Saya rasa tidak perlu. Namun jika kota Palu ditata lebih baik, dengan konsep yang baru yang sesuai dengan kaidah ramah gempa tidak ada masalah," kata Mudrik, Rabu (17/10).
Menurut dia, masyarakat perlu memahami letak geografis Indonesia. Semua pulau atau wilayah memiliki potensi bencana yang berbeda-beda. Karena itu semestinya semua pihak memikirkan bagaimana hidup harmoni dengan alam.
"Intinya Kota Palu bukan berarti di sana tidak aman kemudian (harus) pindah ke selat Makassar, misal. Itu bukan solusi karena di sana (selat Makassar) juga ada ancaman bencana lain," jelas Mudrik.
Dia menerangkan, di sepanjang jalur sesar aktif seperti yang sesar Palu-Koro yang berada di Kota Palu memang termasuk daerah yang tidak boleh dibangun. Namun yang perlu dipahami bukan berarti semua daerah di Kota Palu tidak aman untuk dihuni.
Menurut dia, setidaknya wilayah yang tidak layak huni berkisar pada jarak 30 meter dari koridor kiri dan kanan jalur sesar aktif. Di luar itu, kata dia, masih aman untuk dihuni. Dengan pengecualian, rumah-rumah yang dibangun harus memperhitungkan goncangan gempa yang dihasilkan.
"Jadi kalau membangun rumah lagi bagaimana memperhitungkan retakan-retakan gempanya nanti," jelas dia.
Dalam merelokasi Kota Palu dan membangun Kota Palu yang lebih baik, tegas dia, banyak hal yang perlu dimatangkan. Mulai dari menghitung goncangan potensi gempa, lalu potensi tsunami, longsor atau bahkan likuefaksi. "Itu semua bisa dilakukan dengan memaksimalkan potensi kawan-kawan peneliti," jelas dia.