REPUBLIKA.CO.ID, Pengamat Politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fachry Ali membenarkan hal itu. Saat ini, parpol yang menyatakan dirinya parpol Islam belum mempunyai figur sekaliber SBY atau Jokowi.
"Tidak ada tokoh yang mempesona seperti SBY, Megawati, atau Jokowi pada level politisinya. Kemudian, kinerja mereka kurang terekam di dalam benak dan hati masyarakat. Ini yang paling pokok," paparnya.
Menurut Fachry, sebenarnya akses kepada agama khususnya Islam sangat terbuka bagi parpol-parpol yang ada. Baik parpol Islam maupun parpol yang tidak menyatakan dirinya Islam. Namun kenyataannya, parpol yang nasionalis ternyata mendapatkan akses yang lebih banyak kepada masyarakat.
"Dalam beberapa hal, lihat saja seperti Golkar, Demokrat, PDIP. Pada esensi yang memilih kan umat Islam semua. Tapi akses mereka jauh lebih besar kepada umat," terang Fachry.
Sementara Parpol Islam hanya mendapat akses lebih kecil dari parpol nasionalis tadi. Alasannya, karena tidak ada tokoh dalam partai Islam yang bisa memberikan Inspirasi atau menawan hati bagi masyarakat. "Karena tidak ada tokoh yang menawan hati, katakanlah seperti SBY dan jokowi," ujarnya.
Selain itu, tidak ada model bisa menjadi pedoman bagi masyarakat secara keseluruhan. "Itu absen didalam partai yang menamakan dirinya Islam tadi," tambahnya.
Ada juga yang berpendapat, dikotomi partai Islam dan non-Islam saat ini sudah tidak relevan lagi. Alasannya, dengan liberalisme politik sudah merata di seluruh parpol. Jadi, para elit politik sudah melahirkan pragmatisme poltik dan politik traksaksional.
Ia menyontohkan untuk mencoblos partai tertentu, masyakarat menuntut ada imbalan yang mereka dapatkan. Entah itu berupa uang, makanan, atau bantuan lainnya. Selain itu, wibawa dari partai politik kian hari kian jatuh di masyarakat. Tidak terkecuali partai Islam sekalipun, karena juga didapati kader-kadernya yang terjerat korupsi.
Tingginya angka golput juga sebagai indikasi ketidakpercayaan masyarakat terhadap partai politik. Krisis figur pada parpol Islam ini tak terlepas dari kaderisasi yang mungkin tak berjalan baik. Menurut Fachry, kendati kaderisasi terus berlangsung di dalam partai Islam dan partai non-Islam, ternyata pada kenyataannya, kaderisasi di luar partai Islam berlangsung lebih baik.
Selain krisis figur, parpol Islam juga sangat sulit untuk bersatu. Hal ini tak lain karena akar sosialisasi masing-masing parpol Islam berbeda. Fachry mencontohkan seperti PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) dengan PAN (Partai Amanat Nasional).
"Jelas proses sosialisasi dan budaya keislaman yang dianut itu berbeda. Proses pelembagaan politiknya juga berbeda," terangnya.
Menurut Fachry, tujuan parpol Islam sebagian besar adalah untuk mencapai kekuasaan. "Karena ingin mencapai itu, tidak ada semangat koalisi. Kalau mereka bersatu, sebagian besar mereka tidak duduk dalam kepemimpinan dan kekuasaan," terangnya.