Selasa 15 May 2018 12:25 WIB

HNW: Presiden Harus Tegur Menteri Terkait Revisi UU Teroris

HNW mengatakan, keterlambatan pembahasan revisi UU tersebut ada di sisi pemerintah.

Red: Ratna Puspita
Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid
Foto: MPR RI
Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW) meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegur Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly. Sebab, dia mengatakan, Yasonna beberapa kali meminta penundaan pembahasan revisi UU nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang sedang dibahas di DPR.

"Menkumham beberapa kali menyurati DPR untuk meminta penundaan pembahasan RUU Terorisme. Karena itu, Presiden Jokowi harus menegur Menkumham," kata Hidayat di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (15/5).

Dia mengatakan, Ketua DPR Bambang Soesatyo dan Ketua Pansus Revisi UU Antiterorisme M Syafi'i sudah menjelaskan bahwa keterlambatan pembahasan revisi UU tersebut ada di sisi pemerintah. Karena itu, dia meminta internal pemerintah menyelesaikan masalah tersebut.

Hidayat yang juga politikus PKS itu mengatakan, penyelesaian internal tersebut seperti meminta Menkumham mencabut surat penundaan dan membuat surat baru yang menyatakan siap membahas revisi UU Antiterorisme. Di sisi lain, dia mengatakan, Presiden juga jangan mengeluarkan pernyataan yang terkesan mengancam seperti ingin mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). 

"Seharusnya Presiden Jokowi jangan mengancam akan mengeluarkan pernyataan akan membuat perppu. Seharusnya menegur Menkumham, kenapa meminta penundaan," ujarnya.

Sementara itu, terkait konten revisi UU tersebut, dia menilai semangat yang ada adalah memberantas terorisme tanpa melakukan teror yang lain. Dengan demikian, hal tersebut harus berdasarkan aturan yang berlaku.

"Di satu pihak harus mengamankan NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan keberagaman. Namun, produk hukum yang dihasilkan jangan melegalkan represifitas negara terhadap warga negara," katanya.

Hidayat tidak ingin, dengan alasan terlibat terorisme, seseorang ditangkap tanpa ada proses hukum dan alasan yang kuat. Dia tidak ingin negara Indonesia kembali kepada otoritarianisme dengan dalih melawan terorisme.

"Saya secara prinsip menegaskan bahwa terorisme tidak dibenarkan oleh agama, UUD 1945, dan Pancasila. Namun, memberantasnya jangan dengan memunculkan teror yang lain," ujarnya.

Baca Juga: Menkumham Tegaskan Revisi UU Antiterorisme Segera Rampung

Sebelumnya, Presiden Jokowi mendesak DPR RI dan sejumlah kementerian terkait untuk segera menyelesaikan RUU Tindak Pidana Terorisme. "Saya juga meminta kepada DPR dan kementerian-kementerian yang terkait yang berhubungan dengan revisi undang-undang tindak pidana terorisme yang sudah kita ajukan pada bulan Februari 2016 yang lalu," kata Presiden Jokowi di JI Expo Jakarta pada Senin (14/5) setelah menghadiri peresmian Rakornas Pembinaan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Pusat, dan Daerah Tahun 2018.

Menurut Presiden, DPR RI dapat menyelesaikan RUU tersebut pada sidang mendatang, yaitu 18 Mei 2018. Jokowi menjelaskan, undang-undang itu nantinya dapat memperkuat Polri untuk melakukan penindakan dan pencegahan terhadap terorisme.

"Kalau nantinya di bulan Juni pada akhir masa sidang hal ini belum segera diselesaikan, saya akan keluarkan perppu," kata Presiden menegaskan.

Ketua Pansus Revisi UU Antiterorisme M Syafi'i mengatakan, pembahasan RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sudah 99 persen, hanya tinggal satu ayat dalam Pasal 1 ketentuan umum, yaitu definisi terorisme. "Kami minta pemerintah agar UU ini memberikan definisi yang jelas apa yang disebut terorisme," kata Syafi'i di Jakarta, Senin (14/5).

Dia menjelaskan, ketika semua pembahasan selesai dan tinggal menyelesaikan definisi terorisme, pemerintah tiba-tiba tidak setuju ada definisi. Namun, menurut dia, DPR tetap menginginkan adanya definisi terorisme karena tidak ada logikanya ketika kita persoalkan terorisme, tetapi tidak tahu siapakah terorisme tersebut.

Dia mengatakan, pemerintah sudah dua kali meminta agar adanya penundaan dalam pembahasan revisi UU tersebut. Karena itu, dia meminta Presiden mendesak tim panja pemerintah untuk menggunakan logika hukum merumuskan definisi terorisme. 

Baca Juga: Yasonna Sudah Komunikasi dengan DPR Soal RUU Antiterorisme

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement